Jumat, 29 Juli 2016

Cerpen Persahabatan : Dibalik Samarnya Abu-abu

Diposting oleh Unknown di 08.59 0 komentar
Keadaan sekolah kali ini cukup lengang untuk dilalui para murid-murid SMA Nusa Plus, dikarenakan para murid kelas 12 yang sudah menyelesaikan Ujian Nasionalnya. Racauan para murid-murid kelas 10 dan 11 yang menjadi penyorak hari ini. Hari dimana kembali aktifnya untuk belajar seperti biasanya.

            Hilir mudik langkah kaki para murid menjadi musik tersendiri di setiap lorong-lorong kelas. Ada yang bersenda gurau dengan teman, sekedar bersandar ditembok kelas seraya memainkan handphonenya, dan ada juga yang menatap kosong lapangan sekolah yang perlahan memudar karena terkikis oleh cahaya siang hari.

            Fanny, murid cantik, pintar, dan disenangi banyak orang. Sehingga banyak yang membicarakannya, baik hal yang negatif maupun positif.

            “Re, gue ke kelas aja deh. Gue bosen disini.” Ungkap Fanny ke sahabat karibnya, Rere, yang tengah asik memainkan handphonenya.

            Rere menoleh dan memicingkan matanya, “Yah, lo mah gitu kalo gue cuekin sedikit aja langsung baper.” Ucapnya lalu memusatkan pandangannya ke handphonenya kembali.

            Fanny berdiri dengan sigap, seraya menyentuh pundak Rere, “Udah ya, lo lanjutin aja stalkerin doinya, gue ke kelas ya, Re. Bye!” ucapnya lagi sambil berlalu dari hadapan Rere, dan tak memperdulikan racauan sahabatnya itu.

            Fanny melangkahkan kakinya menuju ke kelasnya, 11IPA-2. Tak jarang ketika ia berjalan dari satu ruangan ke ruangan yang lain, para murid-murid SMA Nusa Plus bertegur sapa dengan Fanny, itulah mengapa Fanny begitu disukai, karena ia ramah.

            Fanny duduk ditempat duduknya seperti biasa, meraih botol minuman berwarna biru muda yang terletak diujung mejanya, lalu meneguknya perlahan. Cuaca siang hari ini memang cukup mengeluarkan keringat, terik.

            Fanny meraih novel kesukaanya yang sedang termangu manis di mejanya, dan membuka setiap lembaran itu. Beberapa saat Fanny kalut akan alur yang dibawa oleh mainannya itu, hingga suatu hal yang mampu memecah imajinasi Fanny.

            “Hay kalian, hati-hati ya sekarang lagi jaman LGBT nih. Apalagi dikelas kita ini ada yang LGBT juga. Tiati ya lu pada.” Sahut si pembuat onar dengan gosip-gosip yang selalu ia tonton dilayar televisi. Sebut saja ia Dewi.

            Fanny termangu melihat tingkah Dewi. Ini bukan pertama kalinya Dewi bertingkah seperti itu. Apalagi disetiap kehebohan yang ia buat, ia selalu menyelipkan satu tokoh yang tak bersalah.

            Fanny mengedarkan pandangan ke seantero kelas. Awalnya kelas dalam keadaan hening, kini menjadi banyak sekali mulut-mulut yang berdesis membicarakan ini itu. Dialihkannya pandangan Fanny ke tempat duduk paling belakang dan paling pojok. Disitu ada Freya. Panggil saja ia Fey. Si cewek berambut cepak, dengan seragamnya yang kebesaran, berpenampilan seperti cowok, namun berparas manis.

            Fanny menggelengkan kepalanya melihat tingkah Dewi yang makin hari semakin kekanak-kanakan. Fanny mencoba untuk memusatkan perhatiannya ke novelnya kembali.

            Sayangnya Fanny tidak bisa. Ini merupakan sifat bawaan Fanny dari dulu yang tidak bisa ia hapus, ia tidak tegaan. Melihat kucing yang sedang bingung untuk menyebrang jalan saja Fanny tidak tega. Sampai-sampai Fanny harus turun dari motornya dan menggendong kucing itu agar kucing tersebut bisa menyebrang dengan selamat. Betapa Fanny sangat menjunjung hidup para makhluk hidup yang ada disemesta ini.

            Fanny menghampiri Fey yang kini tengah menundukan kepalanya dari segala tatapan hina teman-temannya.

            Fanny duduk disebelah Fey, “Jangan dengerin mereka. Jangan dimasukin ke hati. Telan dan biarkan omongan mereka masuk keperut lo yang nantinya bakalan dibuang. Bukan ke otak dan hati lo. Jadi lo gak bakal sakit hati.”

            Fey menoleh kaget dan menatap nanar Fanny yang kini tengah memandang Fey dengan senyum manisnya yang terukir dibibir kecil Fanny. Dan Fey ikut menyunggingkan senyum ketika melihat senyum Fanny seraya mengangguk kaku karena pendekatan spontan yang terjadi barusan.

            “Fan, lo ngapain?” celetuk Dewi yang kini memandang Fanny heran. Sebenarnya tidak cuma Dewi, tetapi sepenjuru kelas kini sedang menatap Fanny heran.

            Fanny menoleh kearah sumber suara seraya mengedikan bahunya acuh, “Fey temen gue, dan gue bertemen sama Fey. Ya emang kenapa kalo gue duduk disini? Salah?” ucapnya ketus.

            “Dia kan freak, gak populer, tampilannya kayak cowok lagi, jangan-jangan dia suka sesama jenis juga, dan dia aneh banget dehhh. Mending lo jauh-jauh deh dari Fey. Nanti lo bisa-bisa ketularan kayak dia. Ya gak temen-temen?!” sahut Dewi dengan semangatnya dan disambut sahutan para murid-murid lainnya.

            Seketika kelas menjadi porak-poranda akibat ulah Dewi.

            Fanny memicingkan mata sinisnya kearah Dewi, “Gue pengen tanya sama lo. Lo manusia bukan, Dew?”

            Dewi terlihat bingung dengan pertanyaan Fanny, namun Dewi tetap menjawab pertanyaan Fanny. “I-iya, gue manusia.” Jawabnya ragu.

            Fanny tersenyum, “Kalo lo manusia, lo pasti tau, dong, cara memanusiakan manusia dengan baik?” tungkas Fanny.

            Dewi kini benar-benar dilanda kebingungan dengan pertanyaan Fanny, “Maksud lo apa, sih? Gue gak paham.”

            Fanny terkekeh, “lo gak tau? Pantes. Jadi lo cuma bisa ngebully orang yang ga bersalah gitu aja? Coba deh lo bayangin kalo lo jadi Fey. Lo bayangin. Tuduhan lo juga belum tentu bener kan? Jadi stop ngebully Fey. Tahan diri lo deh, dan berhenti mengkonsumsi penderitaan orang lain, jangan terus-terusan ngehisap saripati kebahagiaan oranglain, walaupun kenyataannya lo gak bahagia ngeliat kebahagiaan orang lain, dan lo sangat senang ngeliat penderitaan orang lain. Biar apa? Penyakit hati lo udah parah banget ya. gak ada gunanya lo kayak gitu, Dew.” Ucap Fanny dengan segala emosi yang ia pendam tetapi masih terlihat santai.

            Dewi bungkam seribu bahasa, dan ia hanya membalas ucapan Fanny dengan gelengan disertai muka polosnya, dan sehabis itu, ia berbalik keluar kelas dan meluapkan emosinya dengan eraman yang tertahan.

Dan kini, sudut pasang mata tengah menatap Fanny dengan tatapan yang sulit dibaca.

            Setelah kejadian itu, Fanny dan Fey semakin hari semakin dekat. Dari mulai berangkat sekolah, sampai pulang sekolah, mereka selalu seperti saudara kembar. Kedekatan mereka mendapat respon negatif dari para teman-temannya, bahkan sahabat Fanny, Rere pun seakan menjauh dari Fanny. Namun, Fanny tidak mengambil pusing semua itu. Ia hanya fokus dengan apa yang dia lakukan sekarang, membantu Fey. Karena Fanny yakin, Fey bukan seperti yang orang-orang bilang. Dan disini, Fanny ingin menelusup kedalam relung jiwa Fey dan memahami semua keadaannya, karena Fanny merupakan tipikal orang yang peduli dengan sesama, dan Fey adalah targetnya.

            Angin semilir bertiup pelan menghembuskan setiap hembusan nafas langit. Teriknya siang hari kini berganti dengan senjanya sore hari. Panas yang dirasa kini sudah berganti dengan kehangatan yang ditawarkan oleh senja. Burung-burung yang melintang dengan kicauannya kini sedang riuh untuk kembali kesarangnya demi kembali bercengkrama dengan satu sama lain serta saling menghangatkan satu sama lain. Awan-awan yang menggantung dilangit kini perlahan bergeser karena tiupan angin senja yang menandakan waktu gelap akan tiba.

            “Fey, lo kenapa gak manjangin rambut aja, sih? Kan kalo pendek keliatannya kayak cowok. Lo pasti bakalan lebih cantik kalo panjang rambutnya.” Jelas Fanny yang kini sedang duduk dikursi taman dekat sekolah seraya menyenderkan kepalanya di bahu Fey dan memainkan jari imutnya.

            Fey tertawa kecil, “Hm, gimana, ya. Gue lebih suka yang simple.” Balas Fey singkat.

            Fanny mengangkat kepalanya dan menoleh kearah Fey seraya memicingkan matanya, “Tapi lo bakal cantik kalo lo bergaya seperti halnya cewek kebanyakan. Serius deh. Kan anak-anak jadi ga nyebut lo yang enggak-enggak.” Fanny menyentuh rambut Fey dan membenarkan tata letak rambut Fey, “Nih, poni lo aja bagus kalo ditata.” Ucapnya lagi.

            Fey mengacak rambutnya agar kembali seperti semula, “Gue lebih suka kayak gini. Dan ini buat gue nyaman.”

            Fanny menghela nafas pasrahnya, “Yaudah gue gak maksa, kok.”

            Beberapa saat tercipta keheningan diantara satu sama lain. Sama-sama menatap kosong objek didepannya, danau yang hampir tertutupi oleh bunga teratai.

            Fanny seketika menatap Fey. Dan terlihat raut wajah Fanny yang sedang memikirkan sesuatu.
            “Gue boleh tanya sesuatu sama lo nggak?” ucap Fanny.

            Fey yang masih asyik memandang danau didepannya ini, hanya bisa mengangguk pelan tanpa berkata sedikitpun.

            Fanny memainkan jarinya sambil menggigit bibir bawahnya dan menghela nafas berat, “Alesan lo bersikap kayak gini apa, sih? Dari awal kita sekelas pas kelas 11, gue penasaran sama lo, lo doang yang gak beradaptasi sama yang lainnya. Dan juga, lo yang selalu diem disaat semua orang ngehina lo. Sampe-sampe mereka pada ngehina lo terus-terusan karena lo ga ngelak sama sekali atas tuduhan mereka. Lo terlalu abu-abu untuk gue baca, dan gue pengen tau itu dari lo langsung. Kenapa?”

            Fey menunduk dan menatap sepatunya dan kini terlihat raut wajah serius yang tercetak samar diwajahnya. Fey menghembuskan nafasnya perlahan, “Ini semua gara-gara bokap gue. Gue gak tau harus gimana ngedeskripsiin bokap gue. Bokap gue yang selalu nyiksa nyokap gue yang ga bersalah sedikitpun, kadang gue heran, kenapa nyokap gue bisa ketemu bokap gue dulu,” Fanny melihat jiwa rapuh Fey, dan mata Fey kini siap mengucurkan cairan bening yang kini sudah bertengger di pelupuk matanya, “Dulu, waktu gue masih kecil, gue sering ngeliat nyokap gue dipukulin, dan gue selalu berontak ngeliat bokap mukulin nyokap gue, dan pada akhirnya gue yang jadi sasaran, gue ikut kena pukul. Gue sayang nyokap gue. Gue gak mau hal itu terjadi lagi sama nyokap gue, maupun gue. Gue gak mau, Fan. Dan gue bertekad untuk gak jadi cewek yang lemah. Gue kuat. Gue bisa ubah masa lalu gue jadi lebih baik.” Ucap Fey lirih yang kini sudah terisak dengan tangisannya.

            Fanny melihat Fey menangis. Ini pertama kalinya ia melihat teman kelasnya yang selalu tahan banting ketika dihina oleh teman-teman kelasnya kini sedang menangis karena kisah suram keluarganya.

            Fanny merengkuh Fey dan menepuk halus pundak Fey berkali-kali, “Terus bokap lo sekarang kemana?” tanya Fanny pelan.

            Fey mengusap airmatanya, “Dia dipenjara gara-gara nipu orang.”

            Fanny mengangguk pelan, “Dan, kalo bokap lo udah dibebasin, berarti lo masih dapet perlakuan itu dong?” tanya Fanny yang masih penasaran.

            Fey mengulum senyum dibibirnya, “Gue harap enggak. Gue sama nyokap gue udah pindah jauh dari rumah sebelumnya. Kita ngehapus jejak dan kenangan kita yang udah terjadi disana. Gue harap, bokap gue gak bisa nemuin gue sama nyokap gue. Kita udah bahagia sama keadaan yang sekarang.”

            “Dan... jadi ini alasan lo bersikap kayak gini? Lo gak mau jadi cewek lemah karna pengalaman lo yang buat lo kayak gini?” tanya Fanny lagi yang kelihatannya belum puas dengan jawaban Fey.

            Fey mengangguk dan menoleh ke Fanny, “Iya, karena kenangan yang udah ngajarin gue biar kuat dan tahan banting sama keadaan. Dan karena kenangan juga yang bikin gue nahan airmata gue setiap masalah dateng ke gue.” Jelas Fey dengan suara yang parau.

            Fanny mengangguk paham, “kenangan yang nahan semuanya ya, Fey. Sebagus atau buruknya kenangan, itu selalu punya nilai tersendiri buat si pemilik kenangan itu.” Ucap Fanny yang kini sedang menatap langit yang mulai merona gelap.

            Fanny meraih tangan Fey, “Tenang, Fey. Gue bakalan siap sedia kalo lo butuh gue. Ternyata dibalik ke abu-abuan lo itu, ada petir yang menggelegar ya, hmm, gue baru tau kisah lo serumit ini. Tapi yaudah lah, itu cuma kisah lama lo yang cuma jadi serpihan masa lalu lo. Gak perlu lo rangkai lagi, lo cuma perlu menggantinya dengan serpihan yang baru, dan lo susun jadi masa depan lo. Mimpi bukan kenangan, kan? Jadi, bangun mimpi lo, Fey. Oke?” ucap Fanny semangat seraya menampikkan senyumnya yang dihiasi oleh rentetan gigi putihnya.

            Fey tersenyum bahagia, dan memeluk Fanny erat-erat. “Makasih ya, Fan. Cuma lo temen gue saat ini... dan lo yang terbaik.”

            Keduanya saling memeluk erat dan saling menopang jiwa satu sama lain. Senja kini telah memudar, ditandai dengan waktu telah memuram karena telah lelah dengan hal yang sudah ia jalani seharian. Dingin menusuk relung Fanny dan Fey, membuat mereka semakin merasakan betapa dalamnya kenangan mengubah semuanya.

Dari sekeping klise yang menggantung hampa dideretan tali, terlihat setiap peristiwa berjalan sebagaimana duka dan suka cita itu ada. Dan sederet kumpulan klise itu adalah kenangan. Kenangan yang sudah terjadi dan tak bisa dipungkiri.


----------------------------------------------

Holaaaaa sekian lama ya hahaa akhirnya gue bisa nge-post cerpen amatiran gue ini. gue buat ini sih sekedar pemanis aja buat diblog gue, soalnya kan udah lama banget gue ga nge-post cerpen atau kicauan ga guna gue diblog, biar ga kosong aja gitu. yang kosong cukup hati kamu aja, jangan blog aku. *eaaa. btw ini cerpen pertama kalinya gue buat yang bertema persahabatan, biasanya kan yang percintaan gitu, otak sinetron emang haha *gadeng. so, lets enjoy it! xoxo

BTW KRITIK YANG MEMBANGUN SANGAT SANGAT SANGAT AKU TUNGGU YAH. MAKASIH


            

Minggu, 17 Januari 2016

Cerpen : Metamorfosa Kupu-kupu

Diposting oleh Unknown di 08.23 0 komentar
Metamorfosa Kupu-kupu
By : Kenny Damayanti
Hidup dalam suasana yang terbilang baru merupakan sesuatu yang tidak mudah. Hal itu yang tengah dirasakan oleh Bella, seorang gadis remaja yang sedang berada dalam masa sulitnya.
            “Mama gak mau kalau kamu masih bermasalah disini. Dengar, mama sayang kamu, kamu sayang mama kan, Bel? Tolong bantu mama,” ucap mama Bella yang setelah mengantar Bella menemui kepala sekolah di SMA barunya.
            Bella diam tanpa berkata sedikit pun disertai wajah yang merengut kesal.
            Bella beranjak mencari kelasnya dengan dipimpin oleh guru yang akan mengajar dikelasnya sekarang.
            “Kamu tunggu disini sebentar ya, Bella,” kata guru itu sambil memegang lengan Bella sebagai isyarat pengertian dan kemudian berjalan masuk kekelas.
            Tak lama kemudian, guru tersebut mempersilakan masuk.
            Bella berjalan santai mengarah tempat guru tersebut berdiri. Bella memperhatikan seluruh sisi kelas sambil mengunyah permen karetnya yang sedari tadi belum ia buang.
            “Perkenalkan dirimu,” tegas guru itu.
            Bella memulainya, “Nama gue Isabella Winita, lo semua bisa panggil gue Bella, sekian,” ucapnya singkat.
            Ibu guru itu hanya bisa menuruti yang sekiranya hal itu sudah cukup untuk diperkenalkan kepada seluruh murid, “Silahkan duduk dikursi yang kosong, Bella,” Perintahnya lagi.
            Bella pergi mencari tempat yang kosong. Tepat! Diposisi paling belakang dan berada di sisi pojok kelas. Itu tempat yang disukai Bella.
            Semua mata masih memandang Bella. Bella menyadarinya, tetapi ia tetap dengan gayanya yang santai dan cool.
            Bel istirahat berbunyi.
            Semua murid-murid asyik bercanda ria dengan teman-temannya. Semua mempunyai kegiatan yang berbeda untuk menikmati jam istirahatnya, termasuk Bella. Ketika semua sibuk mencari hiburan, Bella sibuk mengitari seluruh sudut sekolah. Entah apa yang ia cari.
            Di sekolah yang sekarang ini merupakan sekolah terfavorit di kota Bandung, SMA Athens. Tidak heran jika sekolah ini sangat luas.
            Bella akhirnya berhenti berlabuh. Ia menepi dibagian sekolah yang sepi dan bersama dengan orang-orang yang tenang. Bella sedang berada di taman. Dia duduk lalu mendengarkan musik kesukaannya. Itu sudah menjadi kebiasaanya. Menurutnya, hal yang paling bisa mengerti dengan kondisinya hanyalah musik. Ia sangat amat menyukai musik, apapun jenisnya. Jika musik itu bisa mengambil hati Bella, ia akan memutarkannya berkali-kali.
            Tepukan di bahu Bella memecah pikiran Bella. Ia melihat kearah tepukan itu, “Eh lo anak baru ya?” sapaan awal untuk Bella dari orang asing yang sebelumnya belum pernah ia temui.
            Sebenarnya Bella malas sekali untuk berkenalan dengan orang yang berada disampingnya ini. Tetapi, untuk pertama kalinya ia masuk ke sekolah ini, ia harus bersikap sopan terlebih dahulu. “Iya,” jawabnya singkat disertai sunggingan senyum tipis dari bibirnya.
            “Boleh gue duduk disini?” balas orang asing itu.
            Bella mengangguk menandakan persetujuannya.
            “Oh iya, kenalin nama gue Rafi. Gue kelas 11 IPA2, kelasnya sebelahan sama lo kok. Kalo lo?” jawabnya lagi dengan rasa antusias.
            Bella semakin tidak nyaman karena ada orang yang sudah merusak zona nyamannya, “Gue Bella, kelas 11 IPA1,” jawabnya singkat.
            “Ngomong-ngomong alasan lo pindah kesini apa? Apa karena ayah lo dipindahtugaskan kesini jadi lo pindah juga gitu?” tanyanya lagi yang sebut saja orang asing itu bernama Rafi.
            Mendengar itu, seketika Bella berubah sensitif, “Gak usah sok tau deh, lagipula apa urusannya juga sama lo,” balasnya ketus dan beranjak pergi meninggalkan tempatnya.
            Bella memang sensitif ketika mendengar alasan ia pindah ke kota ini. Terlebih lagi ia sangat membenci kata Ayah didalam kehidupannya. Bella terlahir di dalam keluarga yang bahagia, awalnya. Hingga akhirnya, saat ia lulus SMP, keluarga Bella hancur, ayah dan ibunya bercerai. Orang yang paling dekat dengan Bella yaitu ayahnya. Tetapi sejak kejadian perceraian itu, ayahnya tidak ingin tahu keadaan Bella. Bertemu saja mereka tidak pernah, dan pada saat itu juga Bella membenci ayahnya.
            Hari pertama sudah Bella lalui. Ia tetap menjadi gadis yang keras kepala dengan segala emosi yang ada dibenaknya. Dan kehidupannya pun selalu dikerumuni oleh awan gelap yang bisa menerka kapan saja layaknya petir. Asalkan saja tidak ada pemicu petir itu, Bella akan tetap menjadi gadis yang baik seperti remaja lainnya.
            Hari-hari telah ia lalui satu persatu.
            Dikantin...
            Walaupun Bella sudah bersekolah disekolah ini lebih dari satu hari, setidaknya ia tetap tidak mempunyai teman. Jiwa sosialnya terganggu karena tragedi itu.
            Bella makan dengan lahap saat itu. Tiba-tiba...
            “Bella...” sapanya yang tiba-tiba muncul dan duduk di depan Bella yang tengah asyik menyantap makan siangnya itu.
            Bella menoleh, ah dia lagi, “Ada apa?” jawabnya singkat sambil menggenggam minumannya lalu menyeruputnya pelan.
            “Gue mau minta maaf soal yang kemarin, gue sama sekali gak tau, dan maaf karena mungkin udah buat lo sakit hati sama omongan gue yang kemarin,” jelas Rafi panjang lebar dengan raut wajah yang sedikit memelas.
            “Gak usah minta maaf, lo gak salah,” jawab Bella yang masih dengan tatapannya yang mengarah ke Rafi.
            “Serius? Gue gak enak jadinya sama lo,” balas Rafi lagi.
            “Iya. Lupain aja,” balasnya singkat dan masih menatap Rafi datar.
            Rafi mengangguk ragu. Kemudian diam tanpa suara sedikit pun.
            “So?” sela Bella yang sudah tidak sabar untuk menyantap makan siangnya itu lagi.
            “Ng, lo kok sendirian aja? Gue temenin aja boleh kan?” pinta Rafi dengan nada bicara sedikit hati-hati.
            “Bukan urusan lo, gue mau sendiri kek, berdua kek, itu gak ada ngaruhnya sama lo kan? Mending lo sana deh,” jawab Bella ketus dengan isyarat tangan yang berarti mengusir.
            Rafi terdiam. Pada saat itu juga Rafi mengetahui watak Bella sesungguhnya, tetapi hal itu tidak menyurutkan niat Rafi untuk tetap berteman dengan Bella. Justru hal itu merupakan suatu tantangan tersendiri bagi Rafi.
            Rafi memanggil pelayan kantin, “Mas, pesen satu baso sama satu es teh ya. gak pake lama ya, Mas,” jelas Rafi.
            Seraya menunggu pesanan Rafi datang. Rafi memandang Bella dengan tenang yang sedang makan itu. Rafi menganggap Bella itu unik. Bella merupakan gadis remaja anak SMA, tetapi hanya Bella yang tidak tertarik sedikit pun terhadap Rafi. Padahal, Rafi adalah cowok idaman seantero sekolah SMA nya, semua gadis-gadis disekolah itu tergila-gila dengannya, karena Rafi tampan, pandai, dan ramah. Tapi disini, Bella mengacuhkannya.
            Bella tiba-tiba sadar bahwa saat itu sedang diperhatikan oleh Rafi, “Apaan sih? Kayak gak punya pemandangan lain aja ngeliatin gue,” ucap Bella dengan nada ketus dan judes.
            Rafi membalasnya dengan tawa, dan kebetulan pada saat itu juga makanan pesanan Rafi datang. Rafi langsung menyantap lahap sampai tidak ada yang tersisa. Setelah itu ia berdiri, “Bel, bayarin pesenan gue ya,” kemudian pergi menjauh meninggalkan Bella yang tengah itu sedang menatap datar punggung Rafi.
            Bella melongo bingung, “Eh apa-apaan ini, Raf! Rafi!” teriaknya yang tidak terlalu kencang karena ia sadar ia sedang berada ditempat umum. Namun teriakan Bella tidak membuat langkah Rafi terhenti. Mau tak mau Bella harus membayar ini semua, dan Bella punya rasa kesal yang sangat amat terhadap Rafi.
            Sepulang sekolah Bella tidak ingin langsung pulang ke rumah. Bella menyempatkan untuk pergi ke salah satu Mall di kota Bandung untuk membeli album lagu band kesukaannya. Bella melepas rasa frustrasinya disini, berada diantara orang-orang yang mempunyai kebahagiannya masing-masing, namun Bella sendiri dengan pikirannya yang kalut dan kacau akan kejadian masa lalunya. Bella tidak punya siapa-siapa sejak hal itu terjadi, ia hanya ingin kehidupannya kembali seperti dulu, menjadi keluarga bahagia yang selalu membuat Bella tersenyum dan tertawa bahagia.
            Usai Bella membeli barang yang cari, ia hendak menaiki eskalator untuk mencari es krim kesukaannya sebagai peningkat mood nya kala itu. Ketika di eskalator, diarah yang berlawanan, ia melihat pemandangan yang ia anggap sebuah bencana dan malapetaka. Ia melihat ayah nya sedang merangkul wanita lain yang sudah pasti itu bukan ibunya. Bella anggap ini memang sudah seharusnya terjadi, tetapi anak mana yang tidak sakit hati melihat ayah nya, orang yang ia sayangi seperti itu. Lantas Bella menghampiri ayahnya itu dengan emosi yang terpendam. Bella hanya ingin mencoba menyapa ayahnya, dan harapan Bella semoga ayahnya membalasnya dengan baik.
            “Ayah...” panggil Bella dengan tatapan nanar yang sebentar lagi akan menumpahkan airmatanya.
            Ayah Bella terkejut dengan keberadaan Bella disini, sekaligus wanita yang sedang dirangkul oleh ayahnya itu pun ikut terkejut. Mereka pergi tanpa mengindahkan Bella di situ. Mereka melihat, tetapi mereka acuh seakan tidak ada yang harus dipermasalahkan disini.
            Bella meraih lengan ayahnya dan menangis sejadi-jadinya, “Yah, Bella kangen ayah, ayah...” ayahnya tetap berlalu tanpa memikirkan perasaan Bella saat itu. Bella menangis. Tak peduli berapa pasang mata yang sedang menyaksikan tangisan Bella. Yang Bella mau ayah nya kembali, dan mengusap airmatanya serta ikut bersama untuk pulang dan menjalin kebahagiaan seperti dulu.
            Tiba-tiba Rafi muncul dihadapannya dan memegang kuat kedua lengan Bella seraya menguatkan Bella untuk tidak runtuh. Rafi membawa Bella ketempat yang lebih aman dan sepi. Rafi membawanya ke parkiran, yang menurutnya tidak terlalu banyak orang. Mereka duduk dibagian pinggir sisi parkiran yang memang menjadi sudut nyaman untuk mereka berdua saat itu.
            “Nih, pake,” kata Rafi sambil menyodorkan sapu tangan bercorak biru abstrak.
            Bella meraihnya, dan mengusapnya pelan kebagian wajahnya. Ia tetap kalut dalam kesedihannya.
            “Gue mungkin sok tau, tapi gue yakin tebakan gue bener. Lo begini karna bokap lo?” ucap Rafi sambil memandang Bella dengan iba.
            Bella sudah kehabisan daya untuk emosi saat itu, yang ia mau hanya endapan emosi didalam hatinya harus ia keluarkan, ia sudah tak tahan lagi, “Hmm, iya lo bener. Gue begini karena bokap gue. Gue gak tau harus gimana, bukannya gue gak sayang sama nyokap gue, gue sayang banget, tapi gue juga sayang sama keluarga gue yang dulu. Gue pengen kayak orang lain, punya keluarga bahagia, nyokap bokapnya care sama anak-anaknya, ga kayak gue. Anak brokenhome kayak gue bisa apa?” jelas Bella dengan nada suara parau. Mungkin sebentar lagi airmatanya akan kembali tumpah membasahi pipinya.
            Rafi iba mendengar itu semua. Dan kini Rafi mengetahui satu fakta yang belum pernah ia ketahui, “Emang terkadang hidup gak sesuai sama apa yang kita mau, kita disini hidup berjalan sesuai skenario Tuhan, dan ibaratnya lo sebagai pemain di kehidupan lo sendiri, bagaimanapun caranya ini cerita lo, ini kehidupan lo, lo harus bisa buat cerita hidup lo sebagus mungkin, dan buat ini semua jadi happy ending.”
Kata mutiara yang keluar dari mulut Rafi sedikit membuka pandangan Bella. Bella sedikit tersadar akan kehidupannya sekarang. Kehidupan yang selalu ditutupi awan gelap, emosi, dan tertutup oleh kelakuan-kelakuan negatifnya, “Lo kenapa mau bertemen sama gue? Gue bukan cewek baik-baik. Gue gak pantes ditemenin,” ucap Bella seraya mempersiapkan diri untuk pergi meninggalkan Rafi.
Rafi ikut beranjak dari tempatnya, “Siapa bilang lo gak pantes ditemenin? Gue seneng kok bertemen sama lo. Dari awal gue liat lo, gue tau lo bukan orang yang menyenangkan, karna itu gue mau bertemen sama lo. Gue pengen ubah lo. Emang lo pikir gue bisa sampe sini pake sihir? Engga, Bel. Gue ngikutin lo dari belakang. Jadi stop merendahkan diri sendiri. Come on, lo udah gede, jangan kayak anak kecil terus,” jelasnya panjang lebar.
Perkataan Rafi mampu membuat langkah Bella berhenti. Sosok seperti Rafi lah yang ia butuhkan. Sosok yang mampu membantu Bella menghadapi semua kesulitan dalam hidupnya. Bella akhirnya mau menerima Rafi menjadi bagian hidupnya yang kelam, dan berusaha untuk mencari celah datangnya pelangi ke kehidupan Bella. Karena Bella yakin, sesudah hujan deras, akan muncul pelangi yang lebih indah.
Hari-hari berlalu tanpa terasa. Hidup Bella semakin hari semakin berubah. Bella yang dulu gadis keras kepala, susah diatur, emosi mudah meluap, dan perasaan yang sering kacau. Kini, sedikit demi sedikit sudah terkontrol dengan baik, dan hal itu bisa membuat ibu Bella tersenyum lega. Ini semua berkat Rafi. Ia yang menjadi teman baik Bella sampai pada akhirnya Bella berubah menjadi gadis yang lebih baik.
“Bel, gue kadang suka heran sama diri gue. Kok bisa ya gue ngurusin anak ulet yang baru lahir biar sampe jadi kupu-kupu?” ucap Rafi ketika yang tengah memandang langit biru cerah yang membentang luas.
“Hah? Maksud lo?” tanya Bella bingung sambil menatap bingung ke arah Rafi.
Rafi membalasnya dengan tawa, “Ya iya, gue kenapa bisa ngejinakin lo gitu, Bel? suka aneh sih, lucu aja gitu,” balas Rafi yang masih dengan suara tawanya.
“Lo pikir gue anak ulet? Parah lo ya, Raf!” sahut Bella dengan diiringi tawanya sambil menepuk-nepuk pundak Rafi.
Rafi tersenyum indah sambil memandang gadis yang dulunya ia kenal buas kini menjadi gadis yang lembut dan menyenangkan. Rafi menyukainya. Terlukis senyum yang lebar saat itu, yang Rafi pikirkan, Rafi sama sekali tidak menduga kalau ia akan jatuh hati pada gadis yang menurutnya bukan tipe nya. Niat awal Rafi mendekati Bella hanya karena ia ingin berteman dengan Bella, tidak lebih. Rafi lelah jika berteman dengan lawan jenisnya, sudah dipastikan lawan jenis tersebut akan muncul perasaan kepada Rafi. Tetapi, kini Rafi menemukan yang berbeda. Bella benar-benar menganggap Rafi sebagai sahabat baiknya.
“Bel, gue mau pamit sama lo. Hmm, kita udah kelas 12 SMA sekarang, dan bertepatan kenaikan kelas kemarin, bokap gue mau gue pindah ke Amsterdam. Dan besok gue harus berangkat,” ucap Rafi yang masih terfokus pada langit yang seakan lebih mencuri pandangannya.
Mendengar pengakuan Rafi, Bella sedih. Dari awal Bella bersekolah disini, hanya Rafi yang selalu setia menjadi sahabat Bella, “Raf, lo serius? Kenapa baru bilang sekarang?” Bella berusaha menutup nada bicara paraunya. Bella mencoba untuk tetap kuat.
“Sorry ya, Bel. Gue cuma mau kita kayak biasa tanpa harus mempersulitkan keadaan bahwa gue bakalan gak ada lagi di saat lo butuh,” jelas Rafi sambil memegang tangan Bella dan menatap lekat ke dalam bola mata Bella.
Bella tunduk. Lemas. Ia bingung harus apa, “Hmm, oke gapapa kok, Raf! Santai aja, gue bakalan baik-baik aja disini.” Balas Bella sambil menyunggingkan senyum indahnya dihadapan Rafi. Bella tidak mau jika kesedihan Bella akan menjadi penghalang Rafi nantinya, “Gue yakin, lo pasti bisa sukses disana. Bokap lo hebat ya, ngelakuin apapun demi cita-cita anaknya. Seandainya itu gue ya, Raf.” Tambahnya diiringi tawa kecilnya.
“Bel, dengerin gue. Selama gue gak ada lo harus bisa jaga diri lo ya. Cewek macem lo tuh susah banget gue temuin. Gue seneng kenal lo. Dan gue janji sama lo, gue bakalan balik kesini buat ketemu lo. Lo cewek terbaik yang pernah gue kenal, Bel.” balas Rafi dengan senyum manisnya. Dan tanpa sadar, Bella ikut melukis senyum dibibirnya. Bella senang mengetahui itu.
“Lo bakalan balik lagi ke sini buat ketemu gue? Serius? Janji?” balas Bella sambil menyodorkan jari kelingkingnya sebagai tanda perjanjian mereka.
Rafi tersenyum, “Gue janji!” Rafi mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Bella dan tertawa bahagia lalu berpelukan. Mereka larut dalam suasana bahagia.
Bella menghargai setiap keputusan yang Rafi buat, karena menurut Bella, Rafi merupakan laki-laki yang bisa menepati janjinya. Bella dan Rafi mempunyai janji yang harus ditepati, mereka berdua kini hidup dengan komitmen yang mereka pegang teguh pada diri mereka masing-masing.
***
Yak, finally akhirnya gue bisa ngepost juga diblog yang udah banyak banget sarang laba-labanya mungkin yaa hehe. btw ini blog udah gue gabuka selama setahunan, dan tiba-tiba muncul lampu yang menyala terang diatas pucuk kepala gue ini dan terbit niat untuk ngepost cerpen. dan fyi, ini adalah salah satu tugas gue kuliah gue, *hey gue bukan anak sekolah lagi, aku sudah kuliah haha* intinya. ignore aja curhatan gue ini, fokus ke cerpen aja ya. gomawo!^^ 

            

Selasa, 11 November 2014

Cerpen : FIX YOU (Part 1)

Diposting oleh Unknown di 05.19 3 komentar
Fix You!
Chapter 1
By : Kenny Damayanti

Mencari keberadaan yang entah kapan jelas keberadaannya. Mencari jawaban yang entah kapan akan bertemu titik pencerahnya. Aku dan dia yang selalu tidak sejalan dengan apa maunya alur takdir ini. Aku yang bisa disamakan dengan batu dan lawanku itu air. Ah...ini benar-benar tidak sejalan. Aku yang mengacaukan ini semua. Dan ini tidak pernah masuk kedalam dugaanku. Sama sekali.
Hubunganku dengan Noval bisa dibilang cukup berani. Ya, seorang Livia berpacaran dengan salah satu ketua Gengster. Terbayangkan? Tidak sebelumnya padaku. Dan pada akhirnya ada pemeran utama yang mampu mengacaukan semua kisah indah ini menjadi petaka. Aku tidak tau pasti siapa itu, yang pasti antara aku dan orang ketiga.
Hari itu ketika aku usai bercanda ria seharian dengan Noval, ya dia pacarku. Dia baik, kukira.. dan ini beda dari awal perkiraanku, ya aku salah disini.
            “Makasih ya atas hari ini, Val. Kamu pulang jgn ribut mulu. Aku khawatir kalo kamu terus-terusan kayak gini terus. Aku gamau kamu hidup dengan berlabelkan ketua gengster terus. Kamu harus berubah.” Ini yang selalu aku ucapkan, ya selalu nasihat ini, aku sayang dia, karena pada awalnya kukira ini akan menjadi sebuah hubungan yang sempurna. Awalnya...
            Dengan jawaban seperti biasanya, Noval selalu mengerti maksudku, tapi tak pernah ia lakukan sedikitpun. Aku bosan.
Aku masuk kedalam rumah. Kulihat didepan rumah banyak kendaraan yang asing. Aku menduga kalau itu hanya teman ayahku, tapi nyatanya tidak.
Aku melangkah masuk. “Assalamualaikum..” sapaku sebentar dengan muka polos karna melihat tamu didalam rumahku ini. Mereka siapa?aku tidak tau.
            “Liv, kamu cepat taruh tas kamu, dan duduk disamping Fiki ya.” Ayahku mengucapkan itu sebagai tanda kalimat selamat datang kupikir. Ini kacau. Aku hanya bisa menurut. Namun, pikiranku tetap bermain, siapa fiki?
Kutaruh tas ku, dan aku kembali berhadapan adegan yang samasekali tidak tau prolognya apa.
            “Kenapa, yah?” tanyaku dengan raut tanda kebingungan sembari duduk disamping orang yang belum aku kenal, awalnya.
            Ayah memulai dramanya, “Liv, kamu akan ayah sandingkan bersama anak teman ayah ya?kamu setujukan?ayah harap kamu setuju.”
            Deg! Jantungku dirasa ingin berhenti. Aku harus jawab apa? Aku mengelak atau menurut? Aku berada posisi yang serba salah. Aku diam.
            Ayah bereaksi dengan kediaman ku ini. “Liv jawab.”
            Aku kaget dan bingung. “Ah...em...yah tapii..”
            Ayah menyela cepat, “Tapi apa? ayah gak mau kamu dapet pilihan yang salah, kamu ikutin kata ayah.” Aku diskak mat. Diriku patung tengah itu.
Aku harus apa? Ayah sudah mengeluarkan kata itu, kini aku harus menurut atau aku akan dihadapi masalah besar. Aku tau ayah seperti apa. Tapi... Noval?
            “Iya yah.” Jawabku singkat. Datar!
            “Baiklah. Kamu keluar geh sama Fiki. Kalian butuh pendekatan khusus.” Dengan mudah Ayah menjawab kalimat itu, sedangkan aku hanya berpacu pada perasaan dan otakku.
Aku menurut perkataan ayahku. “Yuk.” Ajakku ke Fiki.
Dijalan. Awalnya kami sama-sama berada dalam zona tenang. Tetapi kami pada akhirnya tidak berkelanjutan dalam zona tenang itu. Kami mulai angkat bicara. Dan itu didahului oleh, aku.
            “Fik, gue mau tanya deh, lo setuju emang sama perjodohan ini?” tanyaku untuk memastikan kalau dia punya pikiran yang sama denganku. Mungkin dia sudah punya pacar diluar sana, sama denganku.
            “Setuju kok. Lo tau? Gue temen kecil lo, Liv. Mungkin lo lupa, tapi ini emang udah direncanain dari awal sama bokap gue.” Jawaban yang menurutku lebih tak terduga lagi dari sebelumnya. Ini tahap yang klimaks.
            Aku menghela nafas terlebih dahulu untuk menunjukan bahwa aku tenang. “Lo serius? Gue gak inget lo. Dan bokap gue gapernah cerita apa-apa. Lo gak ngarang kan? Emang lo gapunya pacar gitu sama sekali? Gue gapercaya.” Dan berakhir dengan kalimat yang istilahnya enggak nyantai.
            “Hahaha ini serius. Gue pacaran? Gue udah jatuhcinta sama lo dari kecil. Gue gapernah punya pacar sekalipun, karna gue tau kalo gue pada akhirnya bakal dijodohin sama cinta masa kecil gue, yaitu elo. Gue gamungkin naroh harapan kecewek lain. Kalo lo masih gapercaya, gue punya bukti kok.” Fiki merogoh kantung celananya, dan didapati dompet coklat tuanya yang kemudian ia buka. Ada sesuatu yang ia cari disana. “Nih, ini foto kita dulu. Lo liat, kita deket kan? Masih gapercaya? Gue yakin lo abis ini bakalan inget memori ini.” Nadanya yang meyakinkanku.
            Aku raih foto kusam itu. Dan kupandang lekat-lekat. Ya.. itu benar aku. Aku ingat.
            “Hmm, iya gue inget. Lo fiki yang selalu nyamper gue main dan ngebantu kalo gue lagi nangis sendirian dibawah pohon itukan?oke gue inget sekarang. Udah 15tahun lebih kita gak ketemu. Pantes gue gak inget.” Balasku dengan nada rendah dari yang sebelumnya.
            “Syukurlah kalo lu udah inget.” Helaan nafas lega dari Fiki.
            “Tapi... sebelum gue tau kalo gue bakal dijodohin gini. Gue mau buat pengakuan sama lo.” Aku melanjutkan perjalananku sambil diiringi bayangan Fiki yang mengikuti dari belakang.
            Fiki reflek menoleh kearahku, dan masih dengan langkah yang menemaninya dan aku. “Pengakuan? Haha silahkan, tapi kayaknya gue udah tau apa yang mau lo omongin.” Dengan yakinnya Fiki meyakinkanku.
            Aku sedikit tertegun dengan jawabannya. “Hah? Lo tau? Emang apa?” aku menantangnya.
            “Bahwa lo udah punya pacar. Ya kan?” serius pada saat itu yang terlihat jelas dari tatapan tajam siletnya itu.
            Dan lagi, kini aku lebih tertegun lagi. Dan kebingungan mencari rangkaian kata yang susah untuk disatukan menjadi suatu kalimat sempurna yang mampu dan bisa dimengerti. Itu cukup. Dan aku hanyut dalam kebisuan! Tidak mampu berkata! Sekalipun! Dan hanya diiringi senyum pahit yang terpancar diantara debu gelap yang bertebaran seakan ingin ikut serta dalam peristiwa malam itu, aku hanya beradaptasi, ya adaptasi.
            “Meskipun lo udah punya pacar, selagi itu belum terlambat gapapa kan? Tenang, rasa sayang gue ke elo gabakal berubah, gue gak kayak cowok lain yang gampang emosian, yaaa tapi gue bisa aja meledak, tapi buat lo, gue gak mampu ngelakuin itu. Tapi gue mohon, gue pengen kita serius, ini bukan pemaksaan, tapi ibaratnya.... gue lg coba ngutarain perasaan gue, dan gue harap lo ngerti.” Ceramah panjang kali lebarnya membuka mataku. Aku membutuhkan seseorang yang dewasa seperti ini. Tidak dengan pacar ku yang sebelum, yang taklain adalah seorang ketua gengster. Ini menyeramkan.
            Aku kembali membisu, dengan kata-kata yang kacau dan berantakan serta belum aku susun menjadi sebuah kalimat. Dan sekali lagi, aku bingung disini.
            “Lo gaperlu jawab, gue udah tau kok dari raut wajah lo. Gue percaya sama lo, Livia.” Nada halus itu membuatku menoleh kehadapannya yang sedang memandangku lembut. Aku berada dizona nyaman tengah itu, dan terbuai karenanya. Terimakasih. Malam ku ada pelangi malam ini, yang langka kurasakan.
            Aku kini mampu berkata. “Hmm, makasih ya, Fik. Aku usahain. Insyaallah..” jawabku dengan senyum tenang. Menenangkan keadaan yang sebenarnya didiriku kini sedang digerogoti kecemasan. Taklain, Noval.
Paginya...
Pagi buta yang memang buta karna masih terlihat gelap dan tak berwarna. Alasan apa ini yang merasukiku untuk bangun dipagi hari? Aku mengutuk dan mencaci diriku. Ada seseorang yang membangunkanku.
            “Masih gelap. Nanti aja apa ngebanguninnya.” Aku kesal karena dibangunkan tidak pada jamnya. Aku tidak suka ini sama sekali.
            “Bangun dulu, Liv. Temani Fiki tuh didapur, dia lagi masakin kamu sarapan sama bekel sekolah kamu.” Jawabnya yang sepertinya itu adalah suara mama.
            Sontak aku kaget dan bangun. “Fiki? Didapur?” aku bingung dicapur khawatir. Mau apa lagi dia? Mengganggu jam tidur normalku? Istirahatku tidak benar-benar terlaksana kali ini. Batinku terus berucap dengan pikiran yang berantakan. Dan bisa dibilang, pada saat itu aku seperti sedang mengumpulkan berbagai energi untuk bangkit. Ya bangkit untuk bertemu Fiki yang sudah merusak tidurku. Kau pikir, ini adalah jam 5pagi, this is suck!
Aku beranjak dari kasur dengan malas. Dan kulangkahkan kakiku kearah dapur. Dan... surprise!
            “Fik, lo ngapain?” tanyaku sambil melihat samar-samar kearahnya.
            Fiki terlihat terkejut dengan kedatanganku, yang tengah itu sedang membuat makanan didapur. Dan dalam keadaan masih sepagi itu, ini masih buta. “Eh, udah bangun ya?” kalimat itu terlontar dengan senyuman yang membuat benakku nyaman. Entah, aku mulai bisa menerima semua ini.
            “Iya, bytheway... kamu lagi apa? Masakin makanan buat aku? Ngapain kali, repot banget deh.” Jawabku sembari duduk di tempat yang berada disisi meja makan.
            “Kalo iya kenapa? Gaboleh?” jawabnya yang masih sibuk dengan peralatan dapur itu. Baru kali ini aku melihat seorang lelaki yang paham akan soal kegiatan wanita. Aku salut!
            “Ya tapikan ak..” terpotong olehnya.
            “Udah ya kamu mandi dulu geh. Iler udah kemana-mana tuh, bau kali ngomong terus.” Jawabnya yang mengelak jawabku.
            “Hmm, yaudah deh.” Jawabku singkat, yang setelah itu pergi menghindar dari bayangan nyata itu.
Sesudahnya...
            “Yuk, udah siap?” tanya Fiki sebagai kalimat penyambut setelah sarapan bersama tadi.
            “Yaudah yuk, kamu masuk jam berapa deh?” tanyaku yang heran karna dia sudah berkorban untukku pagi ini.
            “Jam tujuh sih.” Jawabnya sambil menggaruk-garuk kepalanya dan gaya tawanya.
            “Hah? Jam tujuh, kenapa ga ngomong deh, kamu bakalan telat. Serius deh”
            “bakalan lebih telat lagi kalo kamu ngomong terus, Liv.” Bantahnya. Yang setelah itu langsung menarikku untuk segera berangkat.
Diperjalanan aku berangkat bersama Fiki, menggunakan alat transportasi sepedamotor yang menjadi saksi kebisuan diperjalanan kami. Sekolah kami berbeda. Berbeda tempat, arah, dan waktu pula. Bayangkan? Dia rela. Hanya untukku.
Disekolah, yang menjadi buah pikiran yang sedang berputar-putar memainkan logika dan perasaan. Keduanya berseteru hingga keadaan yang berujunglah yang mampu membuat hal ini menemukan titik intinya.
Hari sekolahku, kupikir semua berjalan dengan baik. Sekali lagi, itu hanya pikiranku. Realitanya? Ah ini sungguh rumit. Noval pemeran utamanya hari ini. Bantu aku, tuhan. Apa keputusan yang harus aku ambil? Memilih Fiki karna dialah orang yang...sejujurnya aku nyaman sekali berada didekatnya untuk sekarang ini, Noval? Ah aku sayang dia, bisakah aku pilih dia? Aku menyayanginya, karna dia yang sudah lebih awal bersamaku, namun dulu keberadaan Fiki tidak aku ketahui. Aku harus bagaimana? Rasanya, menghilang adalah keputusan yang tepat. Tapi...?
MAU TAU KELANJUTANNYA? WAIT FOR NEXT CHAPTER YAA!
THANK YOU BEFORE, MY LOVELY READERS! J
SILAHKAN KOMENTAR KALAU SUDAH BACA YAA
KRITIKAN DITERIMA, KARENA GUE JUGA MASIH BELAJAR HEHE
DONT BE SILENT READER PLEASE J
*NB : Dont CopyPaste!


 

Kenny's Blog Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos