Metamorfosa Kupu-kupu
By : Kenny Damayanti
Hidup dalam suasana yang terbilang baru merupakan sesuatu
yang tidak mudah. Hal itu yang tengah dirasakan oleh Bella, seorang gadis
remaja yang sedang berada dalam masa sulitnya.
“Mama gak mau kalau kamu
masih bermasalah disini. Dengar, mama sayang kamu, kamu sayang mama kan, Bel?
Tolong bantu mama,” ucap mama Bella yang setelah mengantar Bella menemui kepala
sekolah di SMA barunya.
Bella diam tanpa berkata
sedikit pun disertai wajah yang merengut kesal.
Bella beranjak mencari kelasnya
dengan dipimpin oleh guru yang akan mengajar dikelasnya sekarang.
“Kamu tunggu disini
sebentar ya, Bella,” kata guru itu sambil memegang lengan Bella sebagai isyarat
pengertian dan kemudian berjalan masuk kekelas.
Tak lama kemudian, guru
tersebut mempersilakan masuk.
Bella berjalan santai
mengarah tempat guru tersebut berdiri. Bella memperhatikan seluruh sisi kelas sambil
mengunyah permen karetnya yang sedari tadi belum ia buang.
“Perkenalkan dirimu,” tegas
guru itu.
Bella memulainya, “Nama
gue Isabella Winita, lo semua bisa panggil gue Bella, sekian,” ucapnya singkat.
Ibu guru itu hanya bisa
menuruti yang sekiranya hal itu sudah cukup untuk diperkenalkan kepada seluruh
murid, “Silahkan duduk dikursi yang kosong, Bella,” Perintahnya lagi.
Bella pergi mencari tempat
yang kosong. Tepat! Diposisi paling belakang dan berada di sisi pojok kelas.
Itu tempat yang disukai Bella.
Semua mata masih memandang
Bella. Bella menyadarinya, tetapi ia tetap dengan gayanya yang santai dan cool.
Bel istirahat berbunyi.
Semua murid-murid asyik
bercanda ria dengan teman-temannya. Semua mempunyai kegiatan yang berbeda untuk
menikmati jam istirahatnya, termasuk Bella. Ketika semua sibuk mencari hiburan,
Bella sibuk mengitari seluruh sudut sekolah. Entah apa yang ia cari.
Di sekolah yang sekarang
ini merupakan sekolah terfavorit di kota Bandung, SMA Athens. Tidak heran jika
sekolah ini sangat luas.
Bella akhirnya berhenti
berlabuh. Ia menepi dibagian sekolah yang sepi dan bersama dengan orang-orang
yang tenang. Bella sedang berada di taman. Dia duduk lalu mendengarkan musik
kesukaannya. Itu sudah menjadi kebiasaanya. Menurutnya, hal yang paling bisa mengerti
dengan kondisinya hanyalah musik. Ia sangat amat menyukai musik, apapun
jenisnya. Jika musik itu bisa mengambil hati Bella, ia akan memutarkannya
berkali-kali.
Tepukan di bahu Bella
memecah pikiran Bella. Ia melihat kearah tepukan itu, “Eh lo anak baru ya?”
sapaan awal untuk Bella dari orang asing yang sebelumnya belum pernah ia temui.
Sebenarnya Bella malas
sekali untuk berkenalan dengan orang yang berada disampingnya ini. Tetapi,
untuk pertama kalinya ia masuk ke sekolah ini, ia harus bersikap sopan terlebih
dahulu. “Iya,” jawabnya singkat disertai sunggingan senyum tipis dari bibirnya.
“Boleh gue duduk disini?”
balas orang asing itu.
Bella mengangguk
menandakan persetujuannya.
“Oh iya, kenalin nama gue
Rafi. Gue kelas 11 IPA2, kelasnya sebelahan sama lo kok. Kalo lo?” jawabnya
lagi dengan rasa antusias.
Bella semakin tidak nyaman
karena ada orang yang sudah merusak zona nyamannya, “Gue Bella, kelas 11 IPA1,”
jawabnya singkat.
“Ngomong-ngomong alasan lo
pindah kesini apa? Apa karena ayah lo dipindahtugaskan kesini jadi lo pindah
juga gitu?” tanyanya lagi yang sebut saja orang asing itu bernama Rafi.
Mendengar itu, seketika
Bella berubah sensitif, “Gak usah sok tau deh, lagipula apa urusannya juga sama
lo,” balasnya ketus dan beranjak pergi meninggalkan tempatnya.
Bella memang sensitif
ketika mendengar alasan ia pindah ke kota ini. Terlebih lagi ia sangat membenci
kata Ayah didalam kehidupannya. Bella terlahir di dalam keluarga yang bahagia,
awalnya. Hingga akhirnya, saat ia lulus SMP, keluarga Bella hancur, ayah dan
ibunya bercerai. Orang yang paling dekat dengan Bella yaitu ayahnya. Tetapi
sejak kejadian perceraian itu, ayahnya tidak ingin tahu keadaan Bella. Bertemu
saja mereka tidak pernah, dan pada saat itu juga Bella membenci ayahnya.
Hari pertama sudah Bella lalui.
Ia tetap menjadi gadis yang keras kepala dengan segala emosi yang ada dibenaknya.
Dan kehidupannya pun selalu dikerumuni oleh awan gelap yang bisa menerka kapan
saja layaknya petir. Asalkan saja tidak ada pemicu petir itu, Bella akan tetap
menjadi gadis yang baik seperti remaja lainnya.
Hari-hari telah ia lalui
satu persatu.
Dikantin...
Walaupun Bella sudah
bersekolah disekolah ini lebih dari satu hari, setidaknya ia tetap tidak
mempunyai teman. Jiwa sosialnya terganggu karena tragedi itu.
Bella makan dengan lahap
saat itu. Tiba-tiba...
“Bella...” sapanya yang
tiba-tiba muncul dan duduk di depan Bella yang tengah asyik menyantap makan
siangnya itu.
Bella menoleh, ah dia
lagi, “Ada apa?” jawabnya singkat sambil menggenggam minumannya lalu menyeruputnya
pelan.
“Gue mau minta maaf soal
yang kemarin, gue sama sekali gak tau, dan maaf karena mungkin udah buat lo
sakit hati sama omongan gue yang kemarin,” jelas Rafi panjang lebar dengan raut
wajah yang sedikit memelas.
“Gak usah minta maaf, lo gak
salah,” jawab Bella yang masih dengan tatapannya yang mengarah ke Rafi.
“Serius? Gue gak enak
jadinya sama lo,” balas Rafi lagi.
“Iya. Lupain aja,”
balasnya singkat dan masih menatap Rafi datar.
Rafi mengangguk ragu.
Kemudian diam tanpa suara sedikit pun.
“So?” sela Bella yang
sudah tidak sabar untuk menyantap makan siangnya itu lagi.
“Ng, lo kok sendirian aja?
Gue temenin aja boleh kan?” pinta Rafi dengan nada bicara sedikit hati-hati.
“Bukan urusan lo, gue mau
sendiri kek, berdua kek, itu gak ada ngaruhnya sama lo kan? Mending lo sana deh,”
jawab Bella ketus dengan isyarat tangan yang berarti mengusir.
Rafi terdiam. Pada saat itu
juga Rafi mengetahui watak Bella sesungguhnya, tetapi hal itu tidak menyurutkan
niat Rafi untuk tetap berteman dengan Bella. Justru hal itu merupakan suatu
tantangan tersendiri bagi Rafi.
Rafi memanggil pelayan
kantin, “Mas, pesen satu baso sama satu es teh ya. gak pake lama ya, Mas,” jelas
Rafi.
Seraya menunggu pesanan
Rafi datang. Rafi memandang Bella dengan tenang yang sedang makan itu. Rafi
menganggap Bella itu unik. Bella merupakan gadis remaja anak SMA, tetapi hanya
Bella yang tidak tertarik sedikit pun terhadap Rafi. Padahal, Rafi adalah cowok
idaman seantero sekolah SMA nya, semua gadis-gadis disekolah itu tergila-gila
dengannya, karena Rafi tampan, pandai, dan ramah. Tapi disini, Bella
mengacuhkannya.
Bella tiba-tiba sadar bahwa
saat itu sedang diperhatikan oleh Rafi, “Apaan sih? Kayak gak punya pemandangan
lain aja ngeliatin gue,” ucap Bella dengan nada ketus dan judes.
Rafi membalasnya dengan
tawa, dan kebetulan pada saat itu juga makanan pesanan Rafi datang. Rafi
langsung menyantap lahap sampai tidak ada yang tersisa. Setelah itu ia berdiri,
“Bel, bayarin pesenan gue ya,” kemudian pergi menjauh meninggalkan Bella yang
tengah itu sedang menatap datar punggung Rafi.
Bella melongo bingung, “Eh
apa-apaan ini, Raf! Rafi!” teriaknya yang tidak terlalu kencang karena ia sadar
ia sedang berada ditempat umum. Namun teriakan Bella tidak membuat langkah Rafi
terhenti. Mau tak mau Bella harus membayar ini semua, dan Bella punya rasa
kesal yang sangat amat terhadap Rafi.
Sepulang sekolah Bella
tidak ingin langsung pulang ke rumah. Bella menyempatkan untuk pergi ke salah
satu Mall di kota Bandung untuk membeli album lagu band kesukaannya. Bella
melepas rasa frustrasinya disini, berada diantara orang-orang yang mempunyai
kebahagiannya masing-masing, namun Bella sendiri dengan pikirannya yang kalut
dan kacau akan kejadian masa lalunya. Bella tidak punya siapa-siapa sejak hal
itu terjadi, ia hanya ingin kehidupannya kembali seperti dulu, menjadi keluarga
bahagia yang selalu membuat Bella tersenyum dan tertawa bahagia.
Usai Bella membeli barang
yang cari, ia hendak menaiki eskalator
untuk mencari es krim kesukaannya sebagai peningkat mood nya kala itu. Ketika di eskalator,
diarah yang berlawanan, ia melihat pemandangan yang ia anggap sebuah bencana
dan malapetaka. Ia melihat ayah nya sedang merangkul wanita lain yang sudah
pasti itu bukan ibunya. Bella anggap ini memang sudah seharusnya terjadi,
tetapi anak mana yang tidak sakit hati melihat ayah nya, orang yang ia sayangi
seperti itu. Lantas Bella menghampiri ayahnya itu dengan emosi yang terpendam. Bella
hanya ingin mencoba menyapa ayahnya, dan harapan Bella semoga ayahnya
membalasnya dengan baik.
“Ayah...” panggil Bella
dengan tatapan nanar yang sebentar lagi akan menumpahkan airmatanya.
Ayah Bella terkejut dengan
keberadaan Bella disini, sekaligus wanita yang sedang dirangkul oleh ayahnya
itu pun ikut terkejut. Mereka pergi tanpa mengindahkan Bella di situ. Mereka
melihat, tetapi mereka acuh seakan tidak ada yang harus dipermasalahkan disini.
Bella meraih lengan
ayahnya dan menangis sejadi-jadinya, “Yah, Bella kangen ayah, ayah...” ayahnya
tetap berlalu tanpa memikirkan perasaan Bella saat itu. Bella menangis. Tak
peduli berapa pasang mata yang sedang menyaksikan tangisan Bella. Yang Bella
mau ayah nya kembali, dan mengusap airmatanya serta ikut bersama untuk pulang
dan menjalin kebahagiaan seperti dulu.
Tiba-tiba Rafi muncul
dihadapannya dan memegang kuat kedua lengan Bella seraya menguatkan Bella untuk
tidak runtuh. Rafi membawa Bella ketempat yang lebih aman dan sepi. Rafi
membawanya ke parkiran, yang menurutnya tidak terlalu banyak orang. Mereka
duduk dibagian pinggir sisi parkiran yang memang menjadi sudut nyaman untuk
mereka berdua saat itu.
“Nih, pake,” kata Rafi
sambil menyodorkan sapu tangan bercorak biru abstrak.
Bella meraihnya, dan
mengusapnya pelan kebagian wajahnya. Ia tetap kalut dalam kesedihannya.
“Gue mungkin sok tau, tapi
gue yakin tebakan gue bener. Lo begini karna bokap lo?” ucap Rafi sambil
memandang Bella dengan iba.
Bella sudah kehabisan daya
untuk emosi saat itu, yang ia mau hanya endapan emosi didalam hatinya harus ia
keluarkan, ia sudah tak tahan lagi, “Hmm, iya lo bener. Gue begini karena bokap
gue. Gue gak tau harus gimana, bukannya gue gak sayang sama nyokap gue, gue
sayang banget, tapi gue juga sayang sama keluarga gue yang dulu. Gue pengen
kayak orang lain, punya keluarga bahagia, nyokap bokapnya care sama anak-anaknya, ga kayak gue. Anak brokenhome kayak gue bisa apa?” jelas Bella dengan nada suara
parau. Mungkin sebentar lagi airmatanya akan kembali tumpah membasahi pipinya.
Rafi iba mendengar itu
semua. Dan kini Rafi mengetahui satu fakta yang belum pernah ia ketahui, “Emang
terkadang hidup gak sesuai sama apa yang kita mau, kita disini hidup berjalan
sesuai skenario Tuhan, dan ibaratnya lo sebagai pemain di kehidupan lo sendiri,
bagaimanapun caranya ini cerita lo, ini kehidupan lo, lo harus bisa buat cerita
hidup lo sebagus mungkin, dan buat ini semua jadi happy ending.”
Kata mutiara yang keluar dari mulut Rafi sedikit membuka
pandangan Bella. Bella sedikit tersadar akan kehidupannya sekarang. Kehidupan
yang selalu ditutupi awan gelap, emosi, dan tertutup oleh kelakuan-kelakuan
negatifnya, “Lo kenapa mau bertemen sama gue? Gue bukan cewek baik-baik. Gue
gak pantes ditemenin,” ucap Bella seraya mempersiapkan diri untuk pergi
meninggalkan Rafi.
Rafi ikut beranjak dari tempatnya, “Siapa bilang lo gak
pantes ditemenin? Gue seneng kok bertemen sama lo. Dari awal gue liat lo, gue
tau lo bukan orang yang menyenangkan, karna itu gue mau bertemen sama lo. Gue
pengen ubah lo. Emang lo pikir gue bisa sampe sini pake sihir? Engga, Bel. Gue
ngikutin lo dari belakang. Jadi stop merendahkan diri sendiri. Come on, lo udah gede, jangan kayak anak
kecil terus,” jelasnya panjang lebar.
Perkataan Rafi mampu membuat langkah Bella berhenti.
Sosok seperti Rafi lah yang ia butuhkan. Sosok yang mampu membantu Bella
menghadapi semua kesulitan dalam hidupnya. Bella akhirnya mau menerima Rafi
menjadi bagian hidupnya yang kelam, dan berusaha untuk mencari celah datangnya
pelangi ke kehidupan Bella. Karena Bella yakin, sesudah hujan deras, akan muncul
pelangi yang lebih indah.
Hari-hari berlalu tanpa terasa. Hidup Bella semakin hari
semakin berubah. Bella yang dulu gadis keras kepala, susah diatur, emosi mudah
meluap, dan perasaan yang sering kacau. Kini, sedikit demi sedikit sudah
terkontrol dengan baik, dan hal itu bisa membuat ibu Bella tersenyum lega. Ini
semua berkat Rafi. Ia yang menjadi teman baik Bella sampai pada akhirnya Bella
berubah menjadi gadis yang lebih baik.
“Bel, gue kadang suka heran sama diri gue. Kok bisa ya
gue ngurusin anak ulet yang baru lahir biar sampe jadi kupu-kupu?” ucap Rafi
ketika yang tengah memandang langit biru cerah yang membentang luas.
“Hah? Maksud lo?” tanya Bella bingung sambil menatap
bingung ke arah Rafi.
Rafi membalasnya dengan tawa, “Ya iya, gue kenapa bisa ngejinakin
lo gitu, Bel? suka aneh sih, lucu aja gitu,” balas Rafi yang masih dengan suara
tawanya.
“Lo pikir gue anak ulet? Parah lo ya, Raf!” sahut Bella
dengan diiringi tawanya sambil menepuk-nepuk pundak Rafi.
Rafi tersenyum indah sambil memandang gadis yang dulunya
ia kenal buas kini menjadi gadis yang lembut dan menyenangkan. Rafi
menyukainya. Terlukis senyum yang lebar saat itu, yang Rafi pikirkan, Rafi sama
sekali tidak menduga kalau ia akan jatuh hati pada gadis yang menurutnya bukan
tipe nya. Niat awal Rafi mendekati Bella hanya karena ia ingin berteman dengan
Bella, tidak lebih. Rafi lelah jika berteman dengan lawan jenisnya, sudah
dipastikan lawan jenis tersebut akan muncul perasaan kepada Rafi. Tetapi, kini
Rafi menemukan yang berbeda. Bella benar-benar menganggap Rafi sebagai sahabat
baiknya.
“Bel, gue mau pamit sama lo. Hmm, kita udah kelas 12 SMA
sekarang, dan bertepatan kenaikan kelas kemarin, bokap gue mau gue pindah ke
Amsterdam. Dan besok gue harus berangkat,” ucap Rafi yang masih terfokus pada
langit yang seakan lebih mencuri pandangannya.
Mendengar pengakuan Rafi, Bella sedih. Dari awal Bella
bersekolah disini, hanya Rafi yang selalu setia menjadi sahabat Bella, “Raf, lo
serius? Kenapa baru bilang sekarang?” Bella berusaha menutup nada bicara
paraunya. Bella mencoba untuk tetap kuat.
“Sorry ya, Bel. Gue cuma mau kita kayak biasa tanpa harus
mempersulitkan keadaan bahwa gue bakalan gak ada lagi di saat lo butuh,” jelas
Rafi sambil memegang tangan Bella dan menatap lekat ke dalam bola mata Bella.
Bella tunduk. Lemas. Ia bingung harus apa, “Hmm, oke
gapapa kok, Raf! Santai aja, gue bakalan baik-baik aja disini.” Balas Bella
sambil menyunggingkan senyum indahnya dihadapan Rafi. Bella tidak mau jika
kesedihan Bella akan menjadi penghalang Rafi nantinya, “Gue yakin, lo pasti
bisa sukses disana. Bokap lo hebat ya, ngelakuin apapun demi cita-cita anaknya.
Seandainya itu gue ya, Raf.” Tambahnya diiringi tawa kecilnya.
“Bel, dengerin gue. Selama gue gak ada lo harus bisa jaga
diri lo ya. Cewek macem lo tuh susah banget gue temuin. Gue seneng kenal lo.
Dan gue janji sama lo, gue bakalan balik kesini buat ketemu lo. Lo cewek
terbaik yang pernah gue kenal, Bel.” balas Rafi dengan senyum manisnya. Dan
tanpa sadar, Bella ikut melukis senyum dibibirnya. Bella senang mengetahui itu.
“Lo bakalan balik lagi ke sini buat ketemu gue? Serius?
Janji?” balas Bella sambil menyodorkan jari kelingkingnya sebagai tanda
perjanjian mereka.
Rafi tersenyum, “Gue janji!” Rafi mengaitkan
kelingkingnya ke kelingking Bella dan tertawa bahagia lalu berpelukan. Mereka
larut dalam suasana bahagia.
Bella menghargai setiap keputusan yang Rafi buat, karena
menurut Bella, Rafi merupakan laki-laki yang bisa menepati janjinya. Bella dan
Rafi mempunyai janji yang harus ditepati, mereka berdua kini hidup dengan
komitmen yang mereka pegang teguh pada diri mereka masing-masing.
***
Yak, finally akhirnya gue bisa ngepost juga diblog yang udah banyak banget sarang laba-labanya mungkin yaa hehe. btw ini blog udah gue gabuka selama setahunan, dan tiba-tiba muncul lampu yang menyala terang diatas pucuk kepala gue ini dan terbit niat untuk ngepost cerpen. dan fyi, ini adalah salah satu tugas gue kuliah gue, *hey gue bukan anak sekolah lagi, aku sudah kuliah haha* intinya. ignore aja curhatan gue ini, fokus ke cerpen aja ya. gomawo!^^