Niatku, hanya untuk menemui satu tujuan hidupku,
jantungku yang telah lama hilang, separuh hatiku yang sudah terpisah sejak
lama, Ibu.
Dihari
ulangtahun ku kemarin, tanggal 10 Desember. Aku mendapat sebuah kado yang sudah
disiapkan oleh kedua orangtua angkat ku sejak lama, kado yang membuat aku tidak
percaya akan hal itu, kado yang menyesakkan dan membatinkan hatiku. Aku
ternyata adalah anak tiri yang dititipkan oleh seorang wanita paruh baya pada
waktu yang lampau.
Dia kemana? Ibuku dimana? Itu
membuat beberapa pertanyaan dibenakku melayang. Aku mencari jati diri ku saat
ini, orang yang seharusnya ada dihadapan ku setiap pagi, setiap waktu itu
adalah ia, bukan seseorang yang menyamar menjadi Ibu ku dan Ayah ku.
Dan kini, aku memanfaatkan waktu ku
untuk bertemu dengan Ibu kandung ku, sebelum tanggal 22 Desember, yang
bertepatan Hari Ibu, aku ingin menjadi kado terindah nya saat nanti.
Aku mulai berkelana....
*
Angin malam menusuk ke pori-pori
kulit tipis ku ini. Angin semilir dijalan raya bertebang riang menemani langkah
para lalu lalang pejalan kaki dan kendaraan yang tengah berjalan bergantian
dijalan yang sedang aku tapaki ini. Mereka pengantar arahku, perantara antara
aku dan tujuanku, Tuhan menunjukan ini.
Aku mengumpulkan beberapa informasi
tentang keberadaan wanita paruh baya yang sedang aku rindukan kasihnya itu.
Yang berawal dari informasi Mama dan Papa tiri ku yang mampu menguatkan
segalanya, karena ialah sumbernya. Aku berjalan ke beberapa tempat yang dulu
sempat ditinggali oleh wanita itu. Dengan segala informasi yang ada, aku tetap
mencari-cari sampai aku mewujudkan tujuan ku itu.
“Bagaimana, Bel?” tanya Papa
kepadaku yang tengah duduk di ruang tengah itu setelah aku datang. “Hmm, nihil,
Pa.” Jawabku dengan wajah kecewa.
Papa menaruh tangannya di pundakku,
“Sabar ya. Papa sama Mama yakin kamu bisa bertemu sama Ibu kandungmu. Kita
berdua tahu kalau kamu sudah dewasa, maka dari itu Papa dan Mama sudah membuat
perjanjian sejak lama untuk memberitahu kamu disaat umur 17tahun ini. Papa sama
Mama enggak mau selamanya membohongi kamu, kami sangat berdosa akan hal itu.”
Jelas Papa dengan nada pengertian. “Kami sayang kamu, Bella” timpal Mama yang
sedang berada disamping Papa dengan senyuman khasnya. Aku tersenyum melihat
mereka, “Terimakasih ya , Ma, Pa. Bella sayang banget sama Mama Papa.” .
Kupeluk mereka yang sudah memberi
kasih sayangnya kepadaku sejak aku kecil sampai besar, aku bersyukur mempunyai
mereka.
Setelah kami meluapkan apa yang ada
dipikiran kami masing-masing. Aku pun kembali ke kamar dan mengumpulkan
strategi untuk keesokan harinya. “Ibu,
tunggu aku tanggal 21 Desember ya.” Batinku yang sambil memandang indahnya
langit gelap di balkon rumah dan berharap angin malam ini mampu membisikkan apa
yang aku bisik didalam hati ke Ibu ku yang sedang menanti kedatangan ku. Aku
tidak sabar untuk segera menikmati itu, “semoga tercapai.” Gumamku sambil
menatap senyum indahnya gelap malam yang masih tetap menerangi hari ku dengan
bantuan bulan dan bintangnya.
Keesokan harinya sewaktu ditanggal
22 Desember, Aku pun berpamitan untuk kembali mencari wanita kesayanganku, Ibu.
Entah dimana dia, yang terpenting ia tetap berada dilindungan-Nya. Aku akan
menerima apapun keadaanya, yang terpenting kini, aku bisa bertemu dengan Ibu
yang sudah lama aku rindukan. Aku tidak mengenalnya, aku tidak tahu bagaimana
wajahnya, aku tidak tau keadaannya seperti apa, aku anak durhaka ya? Anak yang
tidak pernah mengenal siapa Ibu ku, kuakui itu.
Kali ini, angin membawa ku ke salah
satu sebuah desa terpencil didaerah Bogor.
“Permisi..” kuketok pintu itu dan
berharap, wanita itu berada disini.
Pintu tak lama terbuka, “Iya? Cari siapa?”
sapa ramah dari seorang yang kelihatannya gadis desa.
“Bisakah saya bertemu dengan Ibu
Nia?” jawab ku dengan senyuman tentunya.
Dia terlihat tertergun.
“Oh
silahkan masuk..” jawab gadis itu.
Aku
melangkah masuk.
“Sebentar
ya...” pamit gadis itu lalu masuk ke rumahnya.
Terlihat
ia sedang mengobrol dengan seorang Ibu disana. Entah itu siapa. Aku tidak
mengenalinya. Tetapi mereka terlihat berbisik dan sesekali menoleh ke arahku.
Ku balas tatapan mereka dengan senyuman agar tidak terlihat canggung.
Tak
lama mereka mengobrol. Gadis itu kembali dengan membawa seseorang dihadapanku.
Aku berdiri, dan menyapa salam dan senyum untuknya.
“Cari
siapa ya, nak?” tanyanya sambil duduk dikursi itu.
“Ibu
Nia nya ada?” balasku.
“Boleh
saya tau kamu siapa dan kenapa mencari Ibu Nia?” tanyanya dengan muka yang
bingung.
“Saya
Bella, saya ingin mencari Ibu saya yang telah lama terpisah dari saya. Dan
sampai sekarang, saya dirawat oleh Ibu Merry dan Bapak Yosi. Dimana dia berada,
Bu?” Jelas ku dengan muka penuh harap.
Wanita
itu melihatku dengan muka bingung.
“Dia
ibu mu?” tanya nya dengan muka heran.
“Ya!
Ayah dan Ibu tiriku bercerita kepadaku setelah dihari ulang tahunku yang berumur
17 tahun.” Jelasku.
“Baiklah,
sebentar.” Wanita itu pergi dan meninggalkan ku sendirian diruang tamunya.
Aku
menunggu dengan ditemani kegelisahan yang berada didalam benakku. Hatiku
berharap, bahwa aku bisa bertemu dengan wanita itu sekarang, ya sekarang. Aku
ingin sekali, dan bahkan demi apapun aku rela untuk bisa bertemu dengannya.
Sampai disinilah aku duduk, dirumah yang mungkin sempat ditinggali oleh wanita
itu, Ibu.
Setelah
lama menunggu, akhirnya wanita itu kembali. Dengan menggenggam kotak berwarna
coklat tua yang sudah usang. Aku penasaran apa yang dibawa oleh wanita itu.
“Ibu
mu menitipkan ini. Untukmu.” Kata wanita itu sambil menyerahkan kotak itu
kepadaku. Mukaku kusut.
“Apa
ini?” tanyaku yang penuh keheranan.
“Kamu
buka saja dulu.” Perintahnya.
Aku
menurutinya. Kubuka kotak itu. Terdapat kertas dan sebuah foto. Ya kertas dan
foto yang sudah lama sekali mungkin, usang tergambar pada kedua benda tersebut.
Diriku di gerogoti kebingungan dan keheranan. “Apa ini? Maksudnya apa?” gumamku. Kubuka sebuah lembar kertas yang
terlipat itu untuk bisa mengetahui lebih jelasnya, agar aku tidak terbunuh oleh
kebingunganku saat ini.
Isi
surat tersebut...
“Apakah
kamu disana? Disana? Membaca surat apa yang aku tulis? Yang kuwariskan kepadamu
jika kamu sudi untuk mencariku? Hingga kini? Apakah itu kamu? Anakku?. Maafkan
aku, karena tidak bisa menjadi seseorang yang pertama kali kamu lihat setelah
kamu berumur 17 tahun. Mereka menepati janji mereka. Saya, Ibu mu Bella. Nama
mu, wajah mu, adalah sebagian dari ku. Nama ku adalah Belania. Benarkan? Bella
adalah namamu, Nia adalah namaku, Ibumu. Aku sangat merindukanmu. Aku sangat
menyayangimu, Bella. Maaf jika aku tidak menjadi Ibu yang baik dimatamu, Ibu
yang berlari entah kemana setelah kamu dilahirkan. Yang malah lari dari mu,
anakku. Aku sudah pergi, sayang. Ingin rasanya aku memelukmu. Tapi kini, aku
tak bisa menggapaimu, melihatmu tumbuh dengan bahagia. Jangan sedih, Ibu akan
selalu berada disisi mu, walaupun kamu tidak menyadari itu. Ibu pergi, sayang.
Sayangi mereka. Terima kasih kamu mau mencariku hingga kamu bisa membaca surat
ini. Terimkasih sayang. Ibu sayang kamu.”
Beloved,
your Mom.
Tak
sadar. Kini, wajahku berlumuran air mata. Degup jantungku seakan melambat. Dia? Sudah pergi? Aku masih tidak
mempercayai ini. Tetapi, surat ini menjadi perantara antara aku dan Ibu ku.
Ku
raih foto yang belum sempat aku lihat. Aku pandangi foto itu. Terdapat dua
wajah disana. Yang bisa aku lihat, sepertinya dia Ibuku yang sedang
menggendongku. Senyuman itu, sama dengan senyum ku. Terlihat lesung pipit nya,
sama sepertiku.
Dan,
aku mulai menangis dan mengangis sesenggukan.
Wanita
itu menyodori minum. Aku mulai meminum perlahan agar aku lebih tenang. Agar aku
bisa mengendalikan diriku.
“Kamu
mau ikut?” tanya wanita itu. Aku menoleh, “Maksud anda?” tanyaku.
“Kamu
mau melihat Ibu mu disemayamkan?” tanyanya lagi.
Aku
mulai merasa, apakah aku kuat?. “Baiklah.”
Aku
dan ia berdiri. Berusaha menjajarkan langkahnya antara aku dan wanita itu. Dan
ditempat yang tak jauh. Kami sampai.
“Disinilah,
Bella” ucapnya sambil menunjuk sebuah batu nisan berwarna hijau tosca yang sudah
kotor.
Aku
jatuh. Aku jatuh. Dan jatuh. Aku menangis. Aku belum sempat bertemu dengannya.
Aku belum sempat membahagiakannya. Aku belum sempat membuat dirinya tersenyum.
Jadi, Inilah jawabanmu ya Tuhan.
Kupandang
langit biru yang membentang angkasa itu. Dan bergumam pada diri sendiri. “Ibu,
Kamu disana? Melihatku? Maafkan aku karena tidak bisa menjadi anakmu yang
sesungguhnya. Aku menyayangimu.”
By : Kenny Damayanti
By : Kenny Damayanti