Jumat, 29 Juli 2016

Cerpen Persahabatan : Dibalik Samarnya Abu-abu

Diposting oleh Unknown di 08.59
Keadaan sekolah kali ini cukup lengang untuk dilalui para murid-murid SMA Nusa Plus, dikarenakan para murid kelas 12 yang sudah menyelesaikan Ujian Nasionalnya. Racauan para murid-murid kelas 10 dan 11 yang menjadi penyorak hari ini. Hari dimana kembali aktifnya untuk belajar seperti biasanya.

            Hilir mudik langkah kaki para murid menjadi musik tersendiri di setiap lorong-lorong kelas. Ada yang bersenda gurau dengan teman, sekedar bersandar ditembok kelas seraya memainkan handphonenya, dan ada juga yang menatap kosong lapangan sekolah yang perlahan memudar karena terkikis oleh cahaya siang hari.

            Fanny, murid cantik, pintar, dan disenangi banyak orang. Sehingga banyak yang membicarakannya, baik hal yang negatif maupun positif.

            “Re, gue ke kelas aja deh. Gue bosen disini.” Ungkap Fanny ke sahabat karibnya, Rere, yang tengah asik memainkan handphonenya.

            Rere menoleh dan memicingkan matanya, “Yah, lo mah gitu kalo gue cuekin sedikit aja langsung baper.” Ucapnya lalu memusatkan pandangannya ke handphonenya kembali.

            Fanny berdiri dengan sigap, seraya menyentuh pundak Rere, “Udah ya, lo lanjutin aja stalkerin doinya, gue ke kelas ya, Re. Bye!” ucapnya lagi sambil berlalu dari hadapan Rere, dan tak memperdulikan racauan sahabatnya itu.

            Fanny melangkahkan kakinya menuju ke kelasnya, 11IPA-2. Tak jarang ketika ia berjalan dari satu ruangan ke ruangan yang lain, para murid-murid SMA Nusa Plus bertegur sapa dengan Fanny, itulah mengapa Fanny begitu disukai, karena ia ramah.

            Fanny duduk ditempat duduknya seperti biasa, meraih botol minuman berwarna biru muda yang terletak diujung mejanya, lalu meneguknya perlahan. Cuaca siang hari ini memang cukup mengeluarkan keringat, terik.

            Fanny meraih novel kesukaanya yang sedang termangu manis di mejanya, dan membuka setiap lembaran itu. Beberapa saat Fanny kalut akan alur yang dibawa oleh mainannya itu, hingga suatu hal yang mampu memecah imajinasi Fanny.

            “Hay kalian, hati-hati ya sekarang lagi jaman LGBT nih. Apalagi dikelas kita ini ada yang LGBT juga. Tiati ya lu pada.” Sahut si pembuat onar dengan gosip-gosip yang selalu ia tonton dilayar televisi. Sebut saja ia Dewi.

            Fanny termangu melihat tingkah Dewi. Ini bukan pertama kalinya Dewi bertingkah seperti itu. Apalagi disetiap kehebohan yang ia buat, ia selalu menyelipkan satu tokoh yang tak bersalah.

            Fanny mengedarkan pandangan ke seantero kelas. Awalnya kelas dalam keadaan hening, kini menjadi banyak sekali mulut-mulut yang berdesis membicarakan ini itu. Dialihkannya pandangan Fanny ke tempat duduk paling belakang dan paling pojok. Disitu ada Freya. Panggil saja ia Fey. Si cewek berambut cepak, dengan seragamnya yang kebesaran, berpenampilan seperti cowok, namun berparas manis.

            Fanny menggelengkan kepalanya melihat tingkah Dewi yang makin hari semakin kekanak-kanakan. Fanny mencoba untuk memusatkan perhatiannya ke novelnya kembali.

            Sayangnya Fanny tidak bisa. Ini merupakan sifat bawaan Fanny dari dulu yang tidak bisa ia hapus, ia tidak tegaan. Melihat kucing yang sedang bingung untuk menyebrang jalan saja Fanny tidak tega. Sampai-sampai Fanny harus turun dari motornya dan menggendong kucing itu agar kucing tersebut bisa menyebrang dengan selamat. Betapa Fanny sangat menjunjung hidup para makhluk hidup yang ada disemesta ini.

            Fanny menghampiri Fey yang kini tengah menundukan kepalanya dari segala tatapan hina teman-temannya.

            Fanny duduk disebelah Fey, “Jangan dengerin mereka. Jangan dimasukin ke hati. Telan dan biarkan omongan mereka masuk keperut lo yang nantinya bakalan dibuang. Bukan ke otak dan hati lo. Jadi lo gak bakal sakit hati.”

            Fey menoleh kaget dan menatap nanar Fanny yang kini tengah memandang Fey dengan senyum manisnya yang terukir dibibir kecil Fanny. Dan Fey ikut menyunggingkan senyum ketika melihat senyum Fanny seraya mengangguk kaku karena pendekatan spontan yang terjadi barusan.

            “Fan, lo ngapain?” celetuk Dewi yang kini memandang Fanny heran. Sebenarnya tidak cuma Dewi, tetapi sepenjuru kelas kini sedang menatap Fanny heran.

            Fanny menoleh kearah sumber suara seraya mengedikan bahunya acuh, “Fey temen gue, dan gue bertemen sama Fey. Ya emang kenapa kalo gue duduk disini? Salah?” ucapnya ketus.

            “Dia kan freak, gak populer, tampilannya kayak cowok lagi, jangan-jangan dia suka sesama jenis juga, dan dia aneh banget dehhh. Mending lo jauh-jauh deh dari Fey. Nanti lo bisa-bisa ketularan kayak dia. Ya gak temen-temen?!” sahut Dewi dengan semangatnya dan disambut sahutan para murid-murid lainnya.

            Seketika kelas menjadi porak-poranda akibat ulah Dewi.

            Fanny memicingkan mata sinisnya kearah Dewi, “Gue pengen tanya sama lo. Lo manusia bukan, Dew?”

            Dewi terlihat bingung dengan pertanyaan Fanny, namun Dewi tetap menjawab pertanyaan Fanny. “I-iya, gue manusia.” Jawabnya ragu.

            Fanny tersenyum, “Kalo lo manusia, lo pasti tau, dong, cara memanusiakan manusia dengan baik?” tungkas Fanny.

            Dewi kini benar-benar dilanda kebingungan dengan pertanyaan Fanny, “Maksud lo apa, sih? Gue gak paham.”

            Fanny terkekeh, “lo gak tau? Pantes. Jadi lo cuma bisa ngebully orang yang ga bersalah gitu aja? Coba deh lo bayangin kalo lo jadi Fey. Lo bayangin. Tuduhan lo juga belum tentu bener kan? Jadi stop ngebully Fey. Tahan diri lo deh, dan berhenti mengkonsumsi penderitaan orang lain, jangan terus-terusan ngehisap saripati kebahagiaan oranglain, walaupun kenyataannya lo gak bahagia ngeliat kebahagiaan orang lain, dan lo sangat senang ngeliat penderitaan orang lain. Biar apa? Penyakit hati lo udah parah banget ya. gak ada gunanya lo kayak gitu, Dew.” Ucap Fanny dengan segala emosi yang ia pendam tetapi masih terlihat santai.

            Dewi bungkam seribu bahasa, dan ia hanya membalas ucapan Fanny dengan gelengan disertai muka polosnya, dan sehabis itu, ia berbalik keluar kelas dan meluapkan emosinya dengan eraman yang tertahan.

Dan kini, sudut pasang mata tengah menatap Fanny dengan tatapan yang sulit dibaca.

            Setelah kejadian itu, Fanny dan Fey semakin hari semakin dekat. Dari mulai berangkat sekolah, sampai pulang sekolah, mereka selalu seperti saudara kembar. Kedekatan mereka mendapat respon negatif dari para teman-temannya, bahkan sahabat Fanny, Rere pun seakan menjauh dari Fanny. Namun, Fanny tidak mengambil pusing semua itu. Ia hanya fokus dengan apa yang dia lakukan sekarang, membantu Fey. Karena Fanny yakin, Fey bukan seperti yang orang-orang bilang. Dan disini, Fanny ingin menelusup kedalam relung jiwa Fey dan memahami semua keadaannya, karena Fanny merupakan tipikal orang yang peduli dengan sesama, dan Fey adalah targetnya.

            Angin semilir bertiup pelan menghembuskan setiap hembusan nafas langit. Teriknya siang hari kini berganti dengan senjanya sore hari. Panas yang dirasa kini sudah berganti dengan kehangatan yang ditawarkan oleh senja. Burung-burung yang melintang dengan kicauannya kini sedang riuh untuk kembali kesarangnya demi kembali bercengkrama dengan satu sama lain serta saling menghangatkan satu sama lain. Awan-awan yang menggantung dilangit kini perlahan bergeser karena tiupan angin senja yang menandakan waktu gelap akan tiba.

            “Fey, lo kenapa gak manjangin rambut aja, sih? Kan kalo pendek keliatannya kayak cowok. Lo pasti bakalan lebih cantik kalo panjang rambutnya.” Jelas Fanny yang kini sedang duduk dikursi taman dekat sekolah seraya menyenderkan kepalanya di bahu Fey dan memainkan jari imutnya.

            Fey tertawa kecil, “Hm, gimana, ya. Gue lebih suka yang simple.” Balas Fey singkat.

            Fanny mengangkat kepalanya dan menoleh kearah Fey seraya memicingkan matanya, “Tapi lo bakal cantik kalo lo bergaya seperti halnya cewek kebanyakan. Serius deh. Kan anak-anak jadi ga nyebut lo yang enggak-enggak.” Fanny menyentuh rambut Fey dan membenarkan tata letak rambut Fey, “Nih, poni lo aja bagus kalo ditata.” Ucapnya lagi.

            Fey mengacak rambutnya agar kembali seperti semula, “Gue lebih suka kayak gini. Dan ini buat gue nyaman.”

            Fanny menghela nafas pasrahnya, “Yaudah gue gak maksa, kok.”

            Beberapa saat tercipta keheningan diantara satu sama lain. Sama-sama menatap kosong objek didepannya, danau yang hampir tertutupi oleh bunga teratai.

            Fanny seketika menatap Fey. Dan terlihat raut wajah Fanny yang sedang memikirkan sesuatu.
            “Gue boleh tanya sesuatu sama lo nggak?” ucap Fanny.

            Fey yang masih asyik memandang danau didepannya ini, hanya bisa mengangguk pelan tanpa berkata sedikitpun.

            Fanny memainkan jarinya sambil menggigit bibir bawahnya dan menghela nafas berat, “Alesan lo bersikap kayak gini apa, sih? Dari awal kita sekelas pas kelas 11, gue penasaran sama lo, lo doang yang gak beradaptasi sama yang lainnya. Dan juga, lo yang selalu diem disaat semua orang ngehina lo. Sampe-sampe mereka pada ngehina lo terus-terusan karena lo ga ngelak sama sekali atas tuduhan mereka. Lo terlalu abu-abu untuk gue baca, dan gue pengen tau itu dari lo langsung. Kenapa?”

            Fey menunduk dan menatap sepatunya dan kini terlihat raut wajah serius yang tercetak samar diwajahnya. Fey menghembuskan nafasnya perlahan, “Ini semua gara-gara bokap gue. Gue gak tau harus gimana ngedeskripsiin bokap gue. Bokap gue yang selalu nyiksa nyokap gue yang ga bersalah sedikitpun, kadang gue heran, kenapa nyokap gue bisa ketemu bokap gue dulu,” Fanny melihat jiwa rapuh Fey, dan mata Fey kini siap mengucurkan cairan bening yang kini sudah bertengger di pelupuk matanya, “Dulu, waktu gue masih kecil, gue sering ngeliat nyokap gue dipukulin, dan gue selalu berontak ngeliat bokap mukulin nyokap gue, dan pada akhirnya gue yang jadi sasaran, gue ikut kena pukul. Gue sayang nyokap gue. Gue gak mau hal itu terjadi lagi sama nyokap gue, maupun gue. Gue gak mau, Fan. Dan gue bertekad untuk gak jadi cewek yang lemah. Gue kuat. Gue bisa ubah masa lalu gue jadi lebih baik.” Ucap Fey lirih yang kini sudah terisak dengan tangisannya.

            Fanny melihat Fey menangis. Ini pertama kalinya ia melihat teman kelasnya yang selalu tahan banting ketika dihina oleh teman-teman kelasnya kini sedang menangis karena kisah suram keluarganya.

            Fanny merengkuh Fey dan menepuk halus pundak Fey berkali-kali, “Terus bokap lo sekarang kemana?” tanya Fanny pelan.

            Fey mengusap airmatanya, “Dia dipenjara gara-gara nipu orang.”

            Fanny mengangguk pelan, “Dan, kalo bokap lo udah dibebasin, berarti lo masih dapet perlakuan itu dong?” tanya Fanny yang masih penasaran.

            Fey mengulum senyum dibibirnya, “Gue harap enggak. Gue sama nyokap gue udah pindah jauh dari rumah sebelumnya. Kita ngehapus jejak dan kenangan kita yang udah terjadi disana. Gue harap, bokap gue gak bisa nemuin gue sama nyokap gue. Kita udah bahagia sama keadaan yang sekarang.”

            “Dan... jadi ini alasan lo bersikap kayak gini? Lo gak mau jadi cewek lemah karna pengalaman lo yang buat lo kayak gini?” tanya Fanny lagi yang kelihatannya belum puas dengan jawaban Fey.

            Fey mengangguk dan menoleh ke Fanny, “Iya, karena kenangan yang udah ngajarin gue biar kuat dan tahan banting sama keadaan. Dan karena kenangan juga yang bikin gue nahan airmata gue setiap masalah dateng ke gue.” Jelas Fey dengan suara yang parau.

            Fanny mengangguk paham, “kenangan yang nahan semuanya ya, Fey. Sebagus atau buruknya kenangan, itu selalu punya nilai tersendiri buat si pemilik kenangan itu.” Ucap Fanny yang kini sedang menatap langit yang mulai merona gelap.

            Fanny meraih tangan Fey, “Tenang, Fey. Gue bakalan siap sedia kalo lo butuh gue. Ternyata dibalik ke abu-abuan lo itu, ada petir yang menggelegar ya, hmm, gue baru tau kisah lo serumit ini. Tapi yaudah lah, itu cuma kisah lama lo yang cuma jadi serpihan masa lalu lo. Gak perlu lo rangkai lagi, lo cuma perlu menggantinya dengan serpihan yang baru, dan lo susun jadi masa depan lo. Mimpi bukan kenangan, kan? Jadi, bangun mimpi lo, Fey. Oke?” ucap Fanny semangat seraya menampikkan senyumnya yang dihiasi oleh rentetan gigi putihnya.

            Fey tersenyum bahagia, dan memeluk Fanny erat-erat. “Makasih ya, Fan. Cuma lo temen gue saat ini... dan lo yang terbaik.”

            Keduanya saling memeluk erat dan saling menopang jiwa satu sama lain. Senja kini telah memudar, ditandai dengan waktu telah memuram karena telah lelah dengan hal yang sudah ia jalani seharian. Dingin menusuk relung Fanny dan Fey, membuat mereka semakin merasakan betapa dalamnya kenangan mengubah semuanya.

Dari sekeping klise yang menggantung hampa dideretan tali, terlihat setiap peristiwa berjalan sebagaimana duka dan suka cita itu ada. Dan sederet kumpulan klise itu adalah kenangan. Kenangan yang sudah terjadi dan tak bisa dipungkiri.


----------------------------------------------

Holaaaaa sekian lama ya hahaa akhirnya gue bisa nge-post cerpen amatiran gue ini. gue buat ini sih sekedar pemanis aja buat diblog gue, soalnya kan udah lama banget gue ga nge-post cerpen atau kicauan ga guna gue diblog, biar ga kosong aja gitu. yang kosong cukup hati kamu aja, jangan blog aku. *eaaa. btw ini cerpen pertama kalinya gue buat yang bertema persahabatan, biasanya kan yang percintaan gitu, otak sinetron emang haha *gadeng. so, lets enjoy it! xoxo

BTW KRITIK YANG MEMBANGUN SANGAT SANGAT SANGAT AKU TUNGGU YAH. MAKASIH


            

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kenny's Blog Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos