Keadaan sekolah kali ini cukup
lengang untuk dilalui para murid-murid SMA Nusa Plus, dikarenakan para murid
kelas 12 yang sudah menyelesaikan Ujian Nasionalnya. Racauan para murid-murid
kelas 10 dan 11 yang menjadi penyorak hari ini. Hari dimana kembali aktifnya
untuk belajar seperti biasanya.
Hilir
mudik langkah kaki para murid menjadi musik tersendiri di setiap lorong-lorong
kelas. Ada yang bersenda gurau dengan teman, sekedar bersandar ditembok kelas
seraya memainkan handphonenya, dan
ada juga yang menatap kosong lapangan sekolah yang perlahan memudar karena terkikis
oleh cahaya siang hari.
Fanny,
murid cantik, pintar, dan disenangi banyak orang. Sehingga banyak yang membicarakannya,
baik hal yang negatif maupun positif.
“Re, gue
ke kelas aja deh. Gue bosen disini.” Ungkap Fanny ke sahabat karibnya, Rere,
yang tengah asik memainkan handphonenya.
Rere
menoleh dan memicingkan matanya, “Yah, lo mah gitu kalo gue cuekin sedikit aja
langsung baper.” Ucapnya lalu memusatkan pandangannya ke handphonenya kembali.
Fanny
berdiri dengan sigap, seraya menyentuh pundak Rere, “Udah ya, lo lanjutin aja
stalkerin doinya, gue ke kelas ya, Re. Bye!” ucapnya lagi sambil berlalu dari
hadapan Rere, dan tak memperdulikan racauan sahabatnya itu.
Fanny
melangkahkan kakinya menuju ke kelasnya, 11IPA-2. Tak jarang ketika ia berjalan
dari satu ruangan ke ruangan yang lain, para murid-murid SMA Nusa Plus bertegur
sapa dengan Fanny, itulah mengapa Fanny begitu disukai, karena ia ramah.
Fanny
duduk ditempat duduknya seperti biasa, meraih botol minuman berwarna biru muda
yang terletak diujung mejanya, lalu meneguknya perlahan. Cuaca siang hari ini
memang cukup mengeluarkan keringat, terik.
Fanny
meraih novel kesukaanya yang sedang termangu manis di mejanya, dan membuka
setiap lembaran itu. Beberapa saat Fanny kalut akan alur yang dibawa oleh
mainannya itu, hingga suatu hal yang mampu memecah imajinasi Fanny.
“Hay
kalian, hati-hati ya sekarang lagi jaman LGBT nih. Apalagi dikelas kita ini ada
yang LGBT juga. Tiati ya lu pada.” Sahut si pembuat onar dengan gosip-gosip
yang selalu ia tonton dilayar televisi. Sebut saja ia Dewi.
Fanny
termangu melihat tingkah Dewi. Ini bukan pertama kalinya Dewi bertingkah
seperti itu. Apalagi disetiap kehebohan yang ia buat, ia selalu menyelipkan
satu tokoh yang tak bersalah.
Fanny
mengedarkan pandangan ke seantero kelas. Awalnya kelas dalam keadaan hening,
kini menjadi banyak sekali mulut-mulut yang berdesis membicarakan ini itu.
Dialihkannya pandangan Fanny ke tempat duduk paling belakang dan paling pojok.
Disitu ada Freya. Panggil saja ia Fey. Si cewek berambut cepak, dengan
seragamnya yang kebesaran, berpenampilan seperti cowok, namun berparas manis.
Fanny menggelengkan
kepalanya melihat tingkah Dewi yang makin hari semakin kekanak-kanakan. Fanny
mencoba untuk memusatkan perhatiannya ke novelnya kembali.
Sayangnya
Fanny tidak bisa. Ini merupakan sifat bawaan Fanny dari dulu yang tidak bisa ia
hapus, ia tidak tegaan. Melihat kucing yang sedang bingung untuk menyebrang
jalan saja Fanny tidak tega. Sampai-sampai Fanny harus turun dari motornya dan
menggendong kucing itu agar kucing tersebut bisa menyebrang dengan selamat.
Betapa Fanny sangat menjunjung hidup para makhluk hidup yang ada disemesta ini.
Fanny
menghampiri Fey yang kini tengah menundukan kepalanya dari segala tatapan hina
teman-temannya.
Fanny
duduk disebelah Fey, “Jangan dengerin mereka. Jangan dimasukin ke hati. Telan
dan biarkan omongan mereka masuk keperut lo yang nantinya bakalan dibuang.
Bukan ke otak dan hati lo. Jadi lo gak bakal sakit hati.”
Fey
menoleh kaget dan menatap nanar Fanny yang kini tengah memandang Fey dengan
senyum manisnya yang terukir dibibir kecil Fanny. Dan Fey ikut menyunggingkan
senyum ketika melihat senyum Fanny seraya mengangguk kaku karena pendekatan
spontan yang terjadi barusan.
“Fan, lo
ngapain?” celetuk Dewi yang kini memandang Fanny heran. Sebenarnya tidak cuma
Dewi, tetapi sepenjuru kelas kini sedang menatap Fanny heran.
Fanny
menoleh kearah sumber suara seraya mengedikan bahunya acuh, “Fey temen gue, dan
gue bertemen sama Fey. Ya emang kenapa kalo gue duduk disini? Salah?” ucapnya
ketus.
“Dia kan
freak, gak populer, tampilannya kayak
cowok lagi, jangan-jangan dia suka sesama jenis juga, dan dia aneh banget
dehhh. Mending lo jauh-jauh deh dari Fey. Nanti lo bisa-bisa ketularan kayak
dia. Ya gak temen-temen?!” sahut Dewi dengan semangatnya dan disambut sahutan
para murid-murid lainnya.
Seketika
kelas menjadi porak-poranda akibat ulah Dewi.
Fanny
memicingkan mata sinisnya kearah Dewi, “Gue pengen tanya sama lo. Lo manusia
bukan, Dew?”
Dewi
terlihat bingung dengan pertanyaan Fanny, namun Dewi tetap menjawab pertanyaan
Fanny. “I-iya, gue manusia.” Jawabnya ragu.
Fanny
tersenyum, “Kalo lo manusia, lo pasti tau, dong, cara memanusiakan manusia
dengan baik?” tungkas Fanny.
Dewi
kini benar-benar dilanda kebingungan dengan pertanyaan Fanny, “Maksud lo apa,
sih? Gue gak paham.”
Fanny
terkekeh, “lo gak tau? Pantes. Jadi lo cuma bisa ngebully orang yang ga
bersalah gitu aja? Coba deh lo bayangin kalo lo jadi Fey. Lo bayangin. Tuduhan
lo juga belum tentu bener kan? Jadi stop ngebully Fey. Tahan diri lo deh, dan berhenti
mengkonsumsi penderitaan orang lain, jangan terus-terusan ngehisap saripati
kebahagiaan oranglain, walaupun kenyataannya lo gak bahagia ngeliat kebahagiaan
orang lain, dan lo sangat senang ngeliat penderitaan orang lain. Biar apa?
Penyakit hati lo udah parah banget ya. gak ada gunanya lo kayak gitu, Dew.”
Ucap Fanny dengan segala emosi yang ia pendam tetapi masih terlihat santai.
Dewi
bungkam seribu bahasa, dan ia hanya membalas ucapan Fanny dengan gelengan
disertai muka polosnya, dan sehabis itu, ia berbalik keluar kelas dan meluapkan
emosinya dengan eraman yang tertahan.
Dan kini, sudut pasang mata
tengah menatap Fanny dengan tatapan yang sulit dibaca.
Setelah
kejadian itu, Fanny dan Fey semakin hari semakin dekat. Dari mulai berangkat
sekolah, sampai pulang sekolah, mereka selalu seperti saudara kembar. Kedekatan
mereka mendapat respon negatif dari para teman-temannya, bahkan sahabat Fanny,
Rere pun seakan menjauh dari Fanny. Namun, Fanny tidak mengambil pusing semua
itu. Ia hanya fokus dengan apa yang dia lakukan sekarang, membantu Fey. Karena
Fanny yakin, Fey bukan seperti yang orang-orang bilang. Dan disini, Fanny ingin
menelusup kedalam relung jiwa Fey dan memahami semua keadaannya, karena Fanny merupakan
tipikal orang yang peduli dengan sesama, dan Fey adalah targetnya.
Angin
semilir bertiup pelan menghembuskan setiap hembusan nafas langit. Teriknya
siang hari kini berganti dengan senjanya sore hari. Panas yang dirasa kini
sudah berganti dengan kehangatan yang ditawarkan oleh senja. Burung-burung yang
melintang dengan kicauannya kini sedang riuh untuk kembali kesarangnya demi kembali
bercengkrama dengan satu sama lain serta saling menghangatkan satu sama lain.
Awan-awan yang menggantung dilangit kini perlahan bergeser karena tiupan angin
senja yang menandakan waktu gelap akan tiba.
“Fey, lo
kenapa gak manjangin rambut aja, sih? Kan kalo pendek keliatannya kayak cowok.
Lo pasti bakalan lebih cantik kalo panjang rambutnya.” Jelas Fanny yang kini sedang
duduk dikursi taman dekat sekolah seraya menyenderkan kepalanya di bahu Fey dan
memainkan jari imutnya.
Fey
tertawa kecil, “Hm, gimana, ya. Gue lebih suka yang simple.” Balas Fey singkat.
Fanny
mengangkat kepalanya dan menoleh kearah Fey seraya memicingkan matanya, “Tapi
lo bakal cantik kalo lo bergaya seperti halnya cewek kebanyakan. Serius deh.
Kan anak-anak jadi ga nyebut lo yang enggak-enggak.” Fanny menyentuh rambut Fey
dan membenarkan tata letak rambut Fey, “Nih, poni lo aja bagus kalo ditata.”
Ucapnya lagi.
Fey
mengacak rambutnya agar kembali seperti semula, “Gue lebih suka kayak gini. Dan
ini buat gue nyaman.”
Fanny
menghela nafas pasrahnya, “Yaudah gue gak maksa, kok.”
Beberapa
saat tercipta keheningan diantara satu sama lain. Sama-sama menatap kosong
objek didepannya, danau yang hampir tertutupi oleh bunga teratai.
Fanny
seketika menatap Fey. Dan terlihat raut wajah Fanny yang sedang memikirkan
sesuatu.
“Gue
boleh tanya sesuatu sama lo nggak?” ucap Fanny.
Fey yang
masih asyik memandang danau didepannya ini, hanya bisa mengangguk pelan tanpa
berkata sedikitpun.
Fanny
memainkan jarinya sambil menggigit bibir bawahnya dan menghela nafas berat,
“Alesan lo bersikap kayak gini apa, sih? Dari awal kita sekelas pas kelas 11,
gue penasaran sama lo, lo doang yang gak beradaptasi sama yang lainnya. Dan
juga, lo yang selalu diem disaat semua orang ngehina lo. Sampe-sampe mereka
pada ngehina lo terus-terusan karena lo ga ngelak sama sekali atas tuduhan
mereka. Lo terlalu abu-abu untuk gue baca, dan gue pengen tau itu dari lo
langsung. Kenapa?”
Fey
menunduk dan menatap sepatunya dan kini terlihat raut wajah serius yang
tercetak samar diwajahnya. Fey menghembuskan nafasnya perlahan, “Ini semua
gara-gara bokap gue. Gue gak tau harus gimana ngedeskripsiin bokap gue. Bokap
gue yang selalu nyiksa nyokap gue yang ga bersalah sedikitpun, kadang gue
heran, kenapa nyokap gue bisa ketemu bokap gue dulu,” Fanny melihat jiwa rapuh
Fey, dan mata Fey kini siap mengucurkan cairan bening yang kini sudah bertengger
di pelupuk matanya, “Dulu, waktu gue masih kecil, gue sering ngeliat nyokap gue
dipukulin, dan gue selalu berontak ngeliat bokap mukulin nyokap gue, dan pada
akhirnya gue yang jadi sasaran, gue ikut kena pukul. Gue sayang nyokap gue. Gue
gak mau hal itu terjadi lagi sama nyokap gue, maupun gue. Gue gak mau, Fan. Dan
gue bertekad untuk gak jadi cewek yang lemah. Gue kuat. Gue bisa ubah masa lalu
gue jadi lebih baik.” Ucap Fey lirih yang kini sudah terisak dengan
tangisannya.
Fanny
melihat Fey menangis. Ini pertama kalinya ia melihat teman kelasnya yang selalu
tahan banting ketika dihina oleh teman-teman kelasnya kini sedang menangis
karena kisah suram keluarganya.
Fanny
merengkuh Fey dan menepuk halus pundak Fey berkali-kali, “Terus bokap lo
sekarang kemana?” tanya Fanny pelan.
Fey
mengusap airmatanya, “Dia dipenjara gara-gara nipu orang.”
Fanny
mengangguk pelan, “Dan, kalo bokap lo udah dibebasin, berarti lo masih dapet
perlakuan itu dong?” tanya Fanny yang masih penasaran.
Fey
mengulum senyum dibibirnya, “Gue harap enggak. Gue sama nyokap gue udah pindah
jauh dari rumah sebelumnya. Kita ngehapus jejak dan kenangan kita yang udah
terjadi disana. Gue harap, bokap gue gak bisa nemuin gue sama nyokap gue. Kita
udah bahagia sama keadaan yang sekarang.”
“Dan...
jadi ini alasan lo bersikap kayak gini? Lo gak mau jadi cewek lemah karna
pengalaman lo yang buat lo kayak gini?” tanya Fanny lagi yang kelihatannya
belum puas dengan jawaban Fey.
Fey
mengangguk dan menoleh ke Fanny, “Iya, karena kenangan yang udah ngajarin gue
biar kuat dan tahan banting sama keadaan. Dan karena kenangan juga yang bikin
gue nahan airmata gue setiap masalah dateng ke gue.” Jelas Fey dengan suara
yang parau.
Fanny
mengangguk paham, “kenangan yang nahan semuanya ya, Fey. Sebagus atau buruknya
kenangan, itu selalu punya nilai tersendiri buat si pemilik kenangan itu.” Ucap
Fanny yang kini sedang menatap langit yang mulai merona gelap.
Fanny
meraih tangan Fey, “Tenang, Fey. Gue bakalan siap sedia kalo lo butuh gue.
Ternyata dibalik ke abu-abuan lo itu, ada petir yang menggelegar ya, hmm, gue
baru tau kisah lo serumit ini. Tapi yaudah lah, itu cuma kisah lama lo yang
cuma jadi serpihan masa lalu lo. Gak perlu lo rangkai lagi, lo cuma perlu
menggantinya dengan serpihan yang baru, dan lo susun jadi masa depan lo. Mimpi
bukan kenangan, kan? Jadi, bangun mimpi lo, Fey. Oke?” ucap Fanny semangat
seraya menampikkan senyumnya yang dihiasi oleh rentetan gigi putihnya.
Fey
tersenyum bahagia, dan memeluk Fanny erat-erat. “Makasih ya, Fan. Cuma lo temen
gue saat ini... dan lo yang terbaik.”
Keduanya
saling memeluk erat dan saling menopang jiwa satu sama lain. Senja kini telah
memudar, ditandai dengan waktu telah memuram karena telah lelah dengan hal yang
sudah ia jalani seharian. Dingin menusuk relung Fanny dan Fey, membuat mereka
semakin merasakan betapa dalamnya kenangan mengubah semuanya.
Dari sekeping klise yang
menggantung hampa dideretan tali, terlihat setiap peristiwa berjalan
sebagaimana duka dan suka cita itu ada. Dan sederet kumpulan klise itu adalah
kenangan. Kenangan yang sudah terjadi dan tak bisa dipungkiri.
----------------------------------------------
Holaaaaa sekian lama ya hahaa akhirnya gue bisa nge-post cerpen amatiran gue ini. gue buat ini sih sekedar pemanis aja buat diblog gue, soalnya kan udah lama banget gue ga nge-post cerpen atau kicauan ga guna gue diblog, biar ga kosong aja gitu. yang kosong cukup hati kamu aja, jangan blog aku. *eaaa. btw ini cerpen pertama kalinya gue buat yang bertema persahabatan, biasanya kan yang percintaan gitu, otak sinetron emang haha *gadeng. so, lets enjoy it! xoxo
BTW KRITIK YANG MEMBANGUN SANGAT SANGAT SANGAT AKU TUNGGU YAH. MAKASIH